HUBUNGAN FILSAFAT ILMU TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU HUKUM DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Filsafat dan ilmu adalah dua kata
yang saling terkait, baik secara substansial maupun secara historis karena
kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaiknya perkembangan ilmu
memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat
telah berhasil mengubah pola pemikirang bangsa Yunani dan ummat manusia dari
pandangan metosentris menjadi logosentris. Awalnya bangsa Yunani dan bangsa
lain di dunia beranggapan bahwa semua kejadian di alam ini dipengaruhi oleh
para dewa. Karenanya para dewa harus dihormati dan sekaligus ditakuti kemudian
disembah. Dengan filsafat, pola pikir yang selalu bergantung pada dewa diubah
menjadi pola pikir yang bergantung pada rasio. Kejadian alam, seperti gerhana
tidak lagi dianggap sebagai kegiatan dewa yang tertidur, tetapi merupakan kejadian
alam yang disebabkan oleh matahari, bulan, dan bumi berada pada garis yang
sejajar, sehingga bayagan-bayagan bulan menimpa sebagai permukaan bumi.
Perubahan berpikir dari mitosentris
ke logosentris membawa implikasi yang tidak kecil. Alam dengan segala
gejalanya, yang selam ini diketahui kemudian didekati dan bahkan dieksploitasi.
Perubahan yang mendasar adalah ditemukaannya hukum-hukum alam dan teori-teori
ilmiah yang menjelaskan perubahan yang terjadi, baik di alam jagad raya
(makrokosmos) maupun alam manusia (mikrokosmos). Dari alam jagad raya
bermunculan ilmu astronomi, kosmologi, fisika, kimia, dan sebagainya, sedangkan
dari manusia muncul ilmu biologi,psikologi,sosiologi, dan sebagainya. ilmu-ilmu
tersebut kemudian menjadi lebih terspesialisasi dalam bentuk yang lebih kecil
dan sekaligus semakin aplikatif dan terasa manfaatnya.
Pada perkembangan selanjutnya, Ilmu
terbagi dalam beberapa disiplin, yang membutuhkan pendekatan, sifat, objek,
tujuan, dan ukuran yang berbeda antara disiplin ilmu yang satu dengan yang
lainnya. Pada giliranya, cabang ilmu semakin subur dengan segala variasinya.
Namun tidak dapat juga dipungkiri bahwa ilmu yang terspesialisasi itu semakin
menambah sekat-sekat antara satu disiplin ilmu dengan dengan disiplin ilmu
lain, sehingga muncul arogansi ilmu, yang satu terhadap yang lainnya.
Tidak hanya sekedar sekat-sekat
antara disiplin ilmu dan arogansi ilmu, tetapi yang terjadi adalah terpisahnya
ilmu dengan nilai-nilai luhur ilmu, yaitu untuk mensejahterakan umat manusia.
Bahkan tidak mustahil terjadi, ilmu menjadi bencana bagi kehidupan ummat
manusia, seperti pemanasan global dan dehumanisasi.
Perkembangan ilmu yang sangat cepat
tidak saja membuat ilmu semakin jauh dari induknya, tetapi juga mendorong
mundurnya arogansi dan bahkan kompartementalisasi yang tidak sehat antara satu
bidang ilmu dengan yang lain. Ilmu sebagai objek kajian filsafat, sepatutnya
mengikuti alur filsafat, yaitu objek material yang didekati lewat pendekatan
radikal, menyeluruh, dan rasional. Begitu juga sifat pendekatan spekulatif
dalam filsafat sepatutnya merupakan bagian dari ilmu karena ilmu dilihat pada
posisi yang tidak mutlak sehingga masih ada ruang untuk berspekulasi demi
pengembangan ilmu itu sendiri.
Seiring
dengan perkembangan itu, wilayah pengetahuan manusia semakin luas dan bertambah
banyak tetapi juga semakin mengkhusus. Lalu lahirlah berbagai disiplin ilmu
pengetahuan yang satu per satu mulai memisahkan diri dari filsafat. Kendati
berbagai disiplin ilmu pengetahuan telah memisahkan diri dari filsafat,
masalah-masalah pokok yang dihadapi filsafat tak pernah berkurang. Karena
banyaknya masalah pokok yang harus dibahas dan dipecahkan, filsafat pun dibagi
ke dalam bidang-bidang studi yang sesuai dengan kelompok permasalahan pokok
yang dihadapinya. Menurut ENSIE (Eerste Nederlandse Systematich
Ingerichte Encyclopaedie)[1]
membagi filsafat ke dalam sepuluh cabang sebagai berikut: a. Filsafat Logika.
b.Epistemologi c. Filsafat Naturalis d. Filsafat Kultural e. Filsafat Sejarah
f. Filsafat Etika g. Filsafat Ilmu h. Filsafat Metafisika i. Filsafat Estetika
j. Filsafat Manusia
Dari
pembagian cabang filsafat tersebut dapat disimpulkan bahwa Filsafat ilmu
merupakan cabang ilmu filsafat yang sangat berguna untuk menjelaskan apa tujuan
ilmu bagi manusia. Dalam pengertiannya filsafat ilmu merupakan kajian secara
mendalam tentang dasar-dasar ilmu, karena hakekat pandangan filsafat ilmu
terhadap tujuan diciptakan ilmu oleh manusia adalah untuk membantunya mengatasi
masalah dalam kehidupannya. Sebagai alat ilmu diyakini dapat mengantarkan
manusia menemukan kebenaran dan atas dasar itu manusia mempergunakannya untuk
menjelaskan masalah, mengendalikan, serta meramalkan. Setiap ilmu hanya mengkaji
salah satu dimensi kehidupan manusia dan dari dimensi itulah lantas ilmu
menciptakan metode untuk memahami dimensi tersebut. Oleh sebab itu, dalam
memahami objek itu ilmu menciptakan sistematika dan metode yang merupakan dua
syarat dasar dari suatu ilmu. Metode siklis, yaitu metode yang diterapkan oleh
fisika dengan langkah-langkah yaitu (1) observasi, (2) induksi, (3) deduksi,
(4) eksperimentasi, dan (5) evaluasi dijadikan standar untuk menentukan
keabsahan suatu ilmu.
Berdasarkan
penjelasan ini penulis menilai filsafat ilmu memberi pengaruh terhadap
perkembangan ilmu di dunia khususnya
ilmu hukum di indonesia salah satunya filsafat ilmu bisa digunakan sebagai
bahan dasar pembuat teori hukum untuk membentuk ilmu hukum tersebut. Dalam hal
ini, teori hukum memang sengaja dirancang untuk lebih bersifat aplikatif dan
mampu mmenjawab persoalan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Filsafat ilmu
bisa menjadi dasar bagi suatu perenungan atau pemikiran secara ketat, secara
mendalam tentang pertimbangan nilai-nilai di balik gejala-gejala hukum
sebagaimana dapat diamati oleh pancaindera manusia mengenai perbuatan-perbuatan
manusia dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Mengingat objek filsafat ilmu adalah
pengetahuan, maka masalah atau pertanyaan yang dibahas oleh filsafat ilmu itupun
antara lain berkaitan dengan manfaat dari pengetahuan itu sendiri.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan penjelasan tersebut
diatas kami merumuskan pokok persoalan yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana
hakekat keilmuan ilmu hukum menurut pandangan Filsfat Ilmu ?
2. Bagaimana
perkembangan ilmu hukum di Indonesia menurut
Filsafat Ilmu ?
C.
Tujuan
dan Manfaat
Penulisan makalah ini bertujuan
untuk :
a) Untuk
mengetahui hakekat keilmuan ilmu hukum menurut pandangan Filsfat Ilmu.
b) Untuk
memahami perkembangan ilmu hukum di Indonesia
dihubungakan dengan Filsafat Ilmu.
Adapun manfaat dari penulisan
makalah ini, menurut penulis terbagi menjadi 2 (dua) yaitu
a)
Manfaat
Teoritis
Ø Kajian
Filsafat Ilmu bisa menambah khasanah ilmu pengetahuan kepada civitas akademika
di Bidang profesi apapun.
Ø Penulisan
makalah ini sebagai wujud untuk memberikan pemahaman komprehensif terhadap
civitas akademika dan umum akan pengetahuan tentang perkembangan filsafat ilmu
pada tatanan hukum di Indonesia.
Ø Bisa
menjadi panduan bagi penulis-penulis lainnya yang membahas pokok materi yang
sama.
b)
Manfaat
Praktis
Ø Meningkatkan
pemahaman mendalam akan historical pengembangan kajian filsafat ilmu terhadap
sejarah pemebentukan hukum di Indonesia.
Ø Menjadi
sarana praktikal dalam menyusun dan memahami kembali pengaruh filsafat ilmu
terhadap ilmu-ilmu masa kini khusus ilmu hukum di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN UMUM FILSAFAT
ILMU DAN ILMU HUKUM
A.
Filsafat
Ilmu
1)
Filsafat
I.
Definisi
Filsafat
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy,
adapun istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang
terdiri atas duakata: philos (cinta) atau philia (persahabatan,
tertarik kepada) dan shopia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan,
keterampilan, pengalaman praktis,inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat
berarti cinta kebijaksanaan ataukebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos
(filosof) dalampengertian pencinta kebijaksanaan. Kata falsafah merupakan
arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud,
yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budimengenai hakikat segala yang
ada, sebab asal dan hukumnya. Manusiafilosofis adalah manusia yang memiliki
kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan
bersifat spiritual.
Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk
memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Berarti
filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang
dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan
mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi
dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak. Dengan
demikian filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu.
Defenisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan
sebuah masalah falsafi pula. Menurut para ahli logika ketika seseorang
menanyakan pengertian (defenisi/hakikat) sesuatu, sesungguhnya ia sedang
bertanya tentang macam-macam perkara. Tetapi paling tidak bisa dikatakan bahwa
“falsafah” itu kira-kira merupakan studi yang didalami tidak dengan melakukan
eksperimen-eksperimen dan percobaan percobaan, tetapi dengan mengutarakan
masalah secara persis, mencari solusi untuk ini, memberikan argumentasi dan
alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya dari proses-proses
sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektika. Dialektika ini secara
singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog.
Adapun
beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof adalah:
1.
Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang
seluruh realitas.
2.
Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar secara nyata.
3.
Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan sumber daya,
hakikatnya keabsahannya, dan nilainya.
4.
Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang
diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
5.
Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu Anda melihat apa yang Anda katakan
dan untuk menyatakan apa yang Anda lihat.
Plato (427–348 SM) menyatakan filsafat ialah pengetahuan
yang bersifat untuk mencapai kebenaran yang asli. Sedangkan Aristoteles
(382–322 SM) mendefenisikan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang meliputi
kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika,
etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan filosof lainnya Cicero
(106–043 SM) menyatakan filsafat ialah ibu dari semua ilmu pengetahuan lainnya.
Filsafat ialah ilmu pengetahuan terluhur dan keiginan unutk mendapatkannya.
Menurut Descartes (1596–1650), filsafat ialah kumpulan
segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi
pokokpenyelidikannya. Sedangkan Immanuel Kant (1724–1804) berpendapat filsafat
ialah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal segala pengetahuan yang
tercakup di dalamnya 4 persoalan:
a. Apakah
yang dapat kita ketahui? Jawabannya termasuk dalam bidang metafisika.
b. Apakah
yang seharusnya kita kerjakan? Jawabannya termasuk dalam bidang etika.
c. Sampai
di manakah harapan kita? Jawabannya termasuk pada bidang agama.
d. Apakah
yang dinamakan manusia itu? Jawabannya termasuk pada bidang antropologi.
Setidaknya ada tiga
karakteristik berpikir filsafat yakni:
1. Sifat
menyeluruh: seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika hanya mengenal ilmu
hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin tahu hakikat ilmu dari
sudut pandang lain, kaitannya dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu
ini akan membawa kebahagian dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan tidak merasa
sombong dan paling hebat. Di atas langit masih ada langit. contoh: Socrates menyatakan
dia tidak tahu apa-apa.
2. Sifat
mendasar: yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya bahwa ilmu itu benar.
Mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria
tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu
apa? Seperti sebuah pertanyaan yang melingkar yang harus dimulai dengan
menentukan titik yang benar.
3. Spekulatif:
dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan titik awal sebuah lingkaran yang
sekaligus menjadi titik akhirnya dibutuhkan sebuah sifat spekulatif baik sisi
proses, analisis maupun pembuktiannya. Sehingga dapat dipisahkan mana yang
logis atau tidak.
II.
Proses
Kelahiran Filsafat
Filsafat, sebagai bagian dari
kebudayaan manusia yang amat menakjubkan, lahir di Yunani dan dikembangkan
sejak awal abad ke-6 SM. Proses kelahiran filsafat itu membutuhkan waktu yang
amat panjang. Ketika suku-suku bangsa Hellenes menyerbu masuk ke tanah Yunani
sekitar tahun 2000 SAMA, mereka masih merupakan pengembara-pengembara kasar
yang belum mengenal peradaban. Mereka baru berhasil menaklukkan Yunani dan
menyingkirkan penduduk aslinya setelah mereka mengambil alih peradaban dan
kebudayaan penduduk asli, yang pada masa itu telah mencapai tingkat cukup
mengagumkan.
Selanjutnya, kendati orang-orang
Yunani telah memperoleh tempat pemukiman yang tetap, banyak di antara mereka
yang gemar merantau, khususnya ke dunia timur yang saat itu telah memiliki
peradaban dan kebudayaan yang tinggi. Mereka merantau sampai ke Mesir dan
Babylonia yang telah mengembangkan pengetahuan tulis-menulis, astronomi, dan
matematika, yang prinsip dasarnya telah diletakkan oleh bangsa Sumeria.
Bagaimanapun juga, orang-orang Yunani tentu saja berhutang budi kepada
orang-orang Sumeria yang telah menemukan sistem hitungan sixagesimal yang
didasarkan atas jumlah enam sebagai satuan kelipatan sehingga mereka telah
mengenal pembagian waktu: satu jam terdiri dari enam puluh menit dan satu menit
terdiri dari enam puluh detik. Bangsa Sumeria jugalah yang menemukan pembagian
lingkaran ke dalam tiga ratus enam puluh derajat.
Memang, orang-orang Yunani berhasil
mengolah berbagai ilmu pengetatahuan yang mereka peroleh dari dunia Timur itu
menjadi benar-benar rasional ilmiah dan berkembang pesat. Pemikiran
rasional-ilmiah itulah yang melahirkan filsafat. Para filsuf Yunani pertama,
yang mulai berfilsafat di Asia Kecil, sebenarnya adalah ahli-ahli matematika,
astronomi, ilmu bumi, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Karena itu, pada
tahap awal, filsafat mencakup seluruh ilmu pengetahuan. Para filsuf Yunani pertama
tersebut dikenal sebagai filsuf-filsuf alam. Mereka berpikir tentang alam:
apakah intinya, bagaimanakah menerangkan peri adanya dan apakah sifat-sifatnya
yang paling hakiki. Dengan demikian, filsafat yang pertama lahir adalah
filsafat alam.
Akan tetapi, filsafat pada masa awal
itu sulit untuk diuraikan dan dipaparkan secara jelas dan pasti karena banyak
filsuf tidak menulis sesuatu apa pun sehingga ajaran mereka hanya dapat
diketahui dari orang lain. Ada juga filsuf-filsuf yang menulis, tetapi sebagian
karya tulis mereka hilang sehingga yang tinggal hanya beberapa fragmen. Ada
pula yang hanya tersisa satu atau dua kalimat yang kebetulan dikutip oleh
pemikir lainnya. Terlepas dari keadaan dan keberadaan para filsuf yang baru
mengembangkan filsafat itu, yang penting dicatat ialah bahwa mereka telah
berani mengayunkan langkah awal yang amat menentukan bagi pertumbuhan
perkembangan filsafat serta ilmu pengetahuan. Mereka berani menolak
meninggalkan cara berpikir yang irasional dan tidak logis, kemudian mulai
menempuh jalan pemikiran rasional-ilmiah yang semakin sistematis. Cara berpikir
rasional-ilmiah itu pulalah yang menghasilkan gagasan-gagasan yang terbuka
untuk diteliti oleh akal budi. Selain itu, dapat didiskusikan lebih lanjut demi
meraih konsep-konsep baru dan kebenan-kebenaran baru yang diharapkan lebih
sesuai dengan realitas sesungguhnya.
III.
Klasifikasi Filsafat
Di seluruh dunia, banyak orang yang menanyakan
pertanyaan yang sama dan membangun tradisi filsafat, menanggapi dan meneruskan
banyak karya-karya sesama mereka. Oleh karena itu filsafat biasa
diklasifikasikan menurut daerah geografis dan budaya. Pada dewasa ini filsafat
biasa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Islam ”.
a. Filsafat
Barat
Filsafat
Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di
universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini
berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno.
Dalam pemikiran barat konvensional pemikiran yang
sistematis, radikal, dan kritis seringkali merujuk pengertian yang ketat dan
harus mengandung kebenaran logis. Misalnya aliran empirisme, positivisme, dan
filsafat analitik memberikan criteria bahwa pemikiran dianggap filosofis jika
mengadung kebenaran korespondensi dan koherensi. Korespondensi yakni
sebuah pengetahuan dinilai benar jika pernyataan itu sesuai dengan kenyataan
empiris. Contoh jika pernyataan ”Saat ini hujan turun”, adalah benar jika indra
kita menangkap hujan turun, jika kenyataannya tidak maka pernyataannya dianggap
salah. Koherensi berarti sebuah pernyataan dinilai benar jika pernyataan itu
mengandung koherensi logis (dapat diuji dengan logika barat).
Dalam filsafat barat secara sistematis terbagi
menjadi tiga bagianbesar yakni: (a) bagian filsafat yang mengkaji tentang ada (being),
(b) bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epistimologi dalam arti luas),
(c) bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai menentukan apa yang seharusnya
dilakukan manusia (aksiologi).
Beberapa tokoh dalam filsafat barat yaitu:
1.
Wittgenstein
mempunyai
aliran analitik (filsafat analitik) yang dikembangkan di negara-negara yang
berbahasa Inggris, tetapi juga diteruskan di Polandia. Filsafat analitik
menolak setiap bentuk filsafat yang berbau ″metafisik”. Filsafat analitik
menyerupai ilmu-ilmu alam yang empiris, sehingga kriteria yang berlaku dalam
ilmu eksata juga harus dapat diterapkan pada filsafat. Yang menjadi obyek
penelitian filsafat analitik sebetulnya bukan barang-barang,
peristiwa-peristiwa, melainkan pernyataan, aksioma, prinsip. Filsafat analitik
menggali dasar-dasar teori ilmu yang berlaku bagi setiap ilmu tersendiri. Yang
menjadi pokok perhatian filsafat analitik ialah analisa logika bahasa
sehari-hari, maupun dalam mengembangkan sistem bahasa buatan.
2.
Imanuel Kant mempunyai
aliran atau filsafat ″kritik” yang tidakmau melewati batas kemungkinan
pemikiran manusiawi. Rasionalisme dan empirisme ingin disintesakannya. Untuk
itu ia membedakan akal, budi, rasio, dan pengalaman inderawi. Pengetahuan
merupakan hasil kerja sama antara pengalaman indrawi yang aposteriori dan
keaktifan akal, faktor priori. Struktur pengetahuan harus kita teliti. Kant
terkenal karena tiga tulisan: (1) Kritik atas rasio murni, apa yang saya dapat
ketahui. Ding an sich, hakikat kenyataan yang dapat diketahui. Manusia
hanya dapat mengetahui gejala-gejala yang kemudian oleh akal terus ditampung
oleh dua wadah pokok, yakni ruang dan waktu. Kemudian diperinci lagi misalnya
menurut kategori sebab dan akibat dst. Seluruh pengetahuan kita berkiblat pada
Tuhan, jiwa, dan dunia. (2) Kritik atas rasio praktis, apa yang harus saya
buat. Kelakuan manusia ditentukan oleh kategori imperatif, keharusan mutlak:
kau harus begini dan begitu. Ini mengandaikan tiga postulat: kebebasan, jiwa
yang tak dapat mati, adanya Tuhan. (3) Kritik atas daya pertimbangan. Di sini
Kant membicarakan peranan perasaan dan fantasi, jembatan antara yang umum dan
yang khusus.
3.
Rene Descartes. Berpendapat
bahwa kebenaran terletak pada diri subyek. Mencari titik pangkal pasti dalam
pikiran dan pengetahuan manusia, khusus dalam ilmu alam. Metode untuk
memperoleh kepastian ialah menyangsikan segala sesuatu. Hanya satu kenyataan
tak dapat disangsikan, yakni aku berpikir, jadi aku ada. Dalam mencari proses
kebenaran hendaknya kita pergunakan ide-ide yang jelas dan tajam. Setiap orang,
sejak ia dilahirkan, dilengkapi dengan ide-ide tertentu, khusus mengenai adanya
Tuhan dan dalil-dalil matematika. Pandangannya tentang alam bersifat mekanistik
dan kuantitatif. Kenyataan dibaginya menjadi dua yaitu: “res extensa dan
res copgitans”.
b.
Filsafat
Timur
Filsafat
Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di
India, Tiongkok, dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya.
Sebuah ciri khas filsafat timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama.
Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk filsafat barat,
terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’
masih lebih menonjol daripada agama. Namanama beberapa filosof: Lao Tse, Kong
Hu Cu, Zhuang Zi, dan lain-lain.
Pemikiran
filsafat timur sering dianggap sebagai pemikiran yang tidak rasional, tidak
sistematis, dan tidak kritis. Hal ini disebabkan pemikiran timur lebih dianggap
agama dibanding filsafat. Pemikiran timur tidak menampilkan sistematika seperti
dalam filsafat barat. Misalnya dalam pemikiran Cina sistematikanya berdasarkan
pada konstrusksi kronologis mulai dari penciptaan alam hingga meninggalnya
manusia dijalin secara runut.
Belakangan
ini, beberapa intelektual barat telah beralih ke filsafat timur, misalnya
Fritjop Capra, seorang ahli fisika yang mendalami taoisme, untuk membangun
kembali bangunan ilmu pengetahuan yang sudah terlanjur dirongrong oleh
relativisme dan skeptisisme. Skeptisisme terhadap metafisika dan filsafat
dipelopori oleh Rene Descartes dan William Ockham.
c. Filsafat
Islam
Filsafat
Islam ini sebenarnya mengambil tempat
yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filosof dari tradisi ini
sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat
(Yunani)
Terdapat
dua pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang
terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropa
belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab
yang disalin oleh St. Agustine (354–430 M), yang kemudian diteruskan oleh
Anicius Manlius Boethius (480–524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan
bahwa orang Eropa belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filsafat
Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap
pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya
salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories, dan
Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan
eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang
dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab
terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas
Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles
dari terjemahanterjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam .
Majid
Fakhri cenderung mengangap filsafat Islam
sebagai matarantai yang menghubungkan Yunani dengan Eropa modern.
Kecenderungan inidisebut europosentris yang berpendapat filsafat Islam telah berakhir sejak kematian Ibn Rusyd.
Pendapat ini ditentang oleh Henry Corbin dan Louis Massignon yang menilai
adanya eksistensi filsafat Islam .
Menurut Kartanegara (2003) dalam filsafat Islam ada empat aliran yakni:
1. Peripatetik
(memutar
atau berkeliling) merujuk kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan
mengelilingi muridnya ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara
metodologis atau epistimologis adalah menggunakan logika formal yang
berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang kuat pada
daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni: Al Kindi (w. 866), Al
Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), Ibn Rusyd (w. 1196), dan Nashir al Din
Thusi (w.1274).
2. Aliran
Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir Iran,
Suhrawardi Al Maqtul (w. 1191). Aliran ini memberikan tempat yang penting bagi
metode intuitif (irfani). Menurutnya dunia ini terdiri dari cahaya dan
kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya sebagai satu-satunya realitas sejati (nur
al anwar), cahaya di atas cahaya.
3. Aliran
Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman mistis
yang bersifat supra-rasional. Jika pengenalan rasional bertumpu pada akal maka
pengenalan sufistik bertumpu pada hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin
Rumi dan Ibn Arabi.
4. Aliran
Hikmah Muta’aliyyah (Teosofi Transeden). Diwakili oleh
seorang filosof syi’ah yakni Muhammad Ibn Ibrahim Yahya Qawami yang dikenal
dengan nama Shadr al Din al Syirazi, Atau yang dikenal dengan Mulla Shadra
yaitu seorang filosof yang berhasil mensintesiskan ketiga aliran di atas[2].
Dalam
Islam ilmu merupakan hal yang sangat
dianjurkan. Dalam Al Quran kata al-ilm dan kata-kata jadiannya digunakan
lebih 780 kali. Hadis juga menyatakan mencari ilmu itu wajib bagi setiap
muslim. Dalam pandangan Allamah Faydh Kasyani dalam bukunya Al Wafi:
ilmu yang diwajibkan kepada setiap muslim adalah ilmu yang mengangkat posisi
manusia pada hari akhirat, dan mengantarkannya pada pengetahuan tentang
dirinya, penciptanya, para nabinya, utusan Allah, pemimpin Islam , sifat Tuhan, hari akhirat, dan hal-hal yang
mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam
pandangan keilmuan Islam , fenomena alam
tidaklah berdiri tanpa relasi dan relevansinya dengan kuasa ilahi. Mempelajari
alam berarti akan mempelajari dan mengenal dari dekat cara kerja Tuhan. Dengan
demikian penelitian alam semesta (jejak-jejak ilahi) akan mendorong kita untuk
mengenal Tuhan dan menambah keyakinan terhadapnya. Fenomena alam bukanlah
realitas-realitas independen melainkan tanda-tanda Allah SWT. Fenomena alam
adalah ayat-ayat yang bersifat qauniyyah, sedangkan kitab suci ayat-ayat yang
besifat qauliyah. Oleh karena itu ilmu-ilmu agama dan umum menempati posisi
yang mulia sebagai obyek ilmu.[3]
2) Ilmu
(Science)
I.
Definisi Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa arab: Alima, ya’lamu, ilman dengan was an fa’layaf’alu, yang berarti: mengerti,
memahami, benar-benar. asmu’I telah memahami pelajaran “filsafat” [4].
dan dalam bahasa inggeris disebut science; dari bahasa latin scientia
(pengetahuan)-scire (mengetahui). sinonim yang paling dekat dengan bahasa
yunani adalah episteme[5].
Jadi pengertian ilmu terdapat dalam kamus bahasa Indonesia adalah pengertian
tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode
tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di
bidang (pengetahuna) itu[6].
Mulyadi Kartanegara mengakatan bahwa ilmu adalah any organized knowledge. Ilmu
dan sains menurutnya tidak berbeda terutama sebelum abad ke-19, tetapi setelah
itu sanis lebih terbatas pada bidang-bidang fisika atau inderawi sedangkan ilmu
melampaui pada bidang-bidang nonfisik, seperti metafisika[7].
Adapun beberapa definisi ilmu menurut para ahli, di
antaranya adalah:
Ø Muhammad
hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuna yang teratur tentang pekerjaan
hukum kausal dalam suatu golongan
masalah yang sama tabiatny, maupun menurut kedudukannya tampak dari
luar, maupun menurut bangunannya di dalam
Ø Harsojo,
guru besar antropologi di universitas padjajaran, menerangkan bahwa ilmu
adalah:
1. Merupakan
akumulasi pengetahuan yang disistemasikan
2. Suatu
pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia
yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada perinsipnya dapat
diamati oleh panca indera manusia.
3. Suatu
cara menganalisa yang menizinkan ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi
dalam bentuk : jika …..maka…..
Ø Prof.
Hamsa Bakhtiar berpendapat ilmu sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri,
tanda, syarat tertentu, yaitu sistematik rasional,empiris, universal, objektif,
dapat diukur, terbuka, dan kumulatif.
II.
Ciri-Ciri Ilmu
Adapun beberapa ciri-ciri utama ilmu menurut
terminology antara lain adalah:
1. Ilmu
adalah pengetahun yang bersifat koheren, empiris, sistematik, dan dapat di
ukur, dan dibuktikan. berbeda dengan iman yaitu pengetahuan yang didasarkan
atas keyakinan kepada yang gaib dan penghayataan serta pengalaman pribadi.
2. Berbeda
dengan pengetahuan, ilmu tidak perna mengartikan kepingan pengetahuan satu
putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang
mengaju ke objek (atau alam objek) yang sama dan salin berkaitan secara logis.
karena itu koherensi sistematik adalah hakikat ilmu.
3. Ilmu
tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran
perorangan, sebab ilmu dapat memuat di dalamnya dirinya sendiri
hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya dimantapkan.
4. Di
pihak lain, yangsering kali berkaitan dengan konsep (ilmu pengetahuan ilmiah)
adalah ide bahwa metode-metode yang berhasil dan hasil-hasil yang terbukti pada
dasarnya harus terbuka kepada semua pencari ilmu.
5. Ciri
hakikat lainnya dari ilmu ialah metodologi, sebab kaitan logis yang dicari ilmu
tidak dicapai dengan penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dari banyak
pengamatan dan ide yang terpisah-pisah.
6. Kesatuan
setiap ilmu bersumber di dalam kesatuan objeknya.
3) Filsafat
Ilmu
I.
Definisi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology (filsafat
pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah).
Menurut The Liang Gie (1999) filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap
persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun
hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu
merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya
bergantung pada hubungan timbal balik dan saling pengaruh antara filsafat dan
ilmu.
II.
Obyek
Filsafat Ilmu
Obyek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan
karena itu, setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan
keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan
menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Oleh karena itu diperlukan
perenungan kembali secara mendasar tentang hakikat dari ilmu pengetahuan itu
bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman.
Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar mau-tidak mau mengantarkan kita
untuk masuk ke dalam kawasan filsafat.
Dengan filsafat ilmu kita akan didorong untuk
memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya prasuposisi ilmunya, logika
validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in
concreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuan dapat terhindar dari
kecongkaan serta kerabunan intelektualnya.
III.
Landasan
Pendekatan Filsafat Ilmu
Filsafat Ilmu memiliki tiga landasan pendekatan
yaitu sebagai berikut:
1.
Ontologi/ Metafisis
Pendekatan metafisis membicarakan hakikat apa yang
dikaji ilmu pengetahuan. Berusaha menjawab, apakah obyek yang ditelaah adalah
ilmu? Bagaimana wujud yang hakikat dari obyek tersebut dan juga bagaimana
hubungan subyek (manusia) dengan obyek
ilmu?.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak
terikat oleh satu perwujudan tertentu, membahas tentang yang ada universial,
menampilkan pemikiran semesta universial, berupaya mencari inti yang termuat
dalam setiap kenyataan. Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas.
Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam
kuantitas atau jumlah, kajiannya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil
menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme.
Lauorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan
abstraksi dalam ontologi, yaitu abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan
abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas
sesuatu obyek; sedangkan abstraksi bentuk mendiskripsikan sifat umum yang
menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetengahkan
prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau
oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam
ontologi oleh Laurens Bagus dibedakan menjadi dua yaitu pembuktian a priori dan
pembuktian a posteriori.
Dengan
demikian Ontologi Ilmu (dimensi ontologi ilmu) adalah Ilmu yang mengkaji wujud (being)
dalam perspektif ilmu – ontologi ilmu dapat dimaknai sebagai teori tentang
wujud dalam perspektif objek materil ke-ilmuan, konsep-konsep penting yang
diasumsikan oleh ilmu ditelaah secara kritis dalam ontologi ilmu. Ontologi
adalah hakikat yang “Ada” (being,sein)yang
merup akan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan kebenaran.
2.
Epistemology
Epistemology berasal
dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan, merupakan gabungan dua
kata Episteme: pengetahuan; dan logos, theory. Epistemologi
merupakan cabang ilmu filsafat yang menengarai masalah-masalah filosofi hal
yang mengitari teori ilmu pengetahuan. Sebagai bagian dari filsafat yang
meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat dan bagaimana memperoleh
pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat.
Jadi epistemologi menentukan karakter pengetahuan bahkan menentukan “kebenaran”
macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak.
Apabila kumpulan pengetahuan yang
benar/episteme/diklasifikasi, disusun sistematis dengan metode yang benar dapat
menjadi epistemologi. Aspek epistemologi adalah kebenaran fakta/kenyataan dari
sudut pandang mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang dapat diverifikasi
atau dibuktikan kembali kebenarannya. Dengan memperhatikan definisi
epistemologi bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah
ilmu, makrifat dan pengetahuan. Epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat
yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar, dan pondasi, alat, tolok
ukur, keabsahan, validitas dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan
manusia.
3. Aksiologi
Aksiologi adalah ilmu yang mengkaji tentang
nilai-nilai. Disebut teori tentang nilai sebagai filsafat yang membahas apa
kegunaan ilmu pengetahuan manusia. Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan
itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral (Jujun S.
Suriasumantri, 1985:71).
IV.
Sejarah
Perkembangan Filsafat Ilmu
Filsafat
ilmu sebagai bagian integral dari filsafat secara keseluruhan
perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat itu
sendiri secara keseluruhan. Menurut Lincoln Cuba, sebagai yang dikutip oleh Ali
Abdul Azim, bahwa kita mengenal tiga babakan perkembangan paradigma dalam
filsafat ilmu di Barat yaitu era prapositivisme, era positivisme dan era pasca
modernisme. Era prapositivisme adalah era paling panjang dalam sejarah filsafat
ilmu yang mencapai rentang waktu lebih dari dua ribu tahun.
Dalam uraian ini, penulis cenderung mengklasifikasi
perkembangan filsafat ilmu berdasarkan ciri khas yang mewarnai pada tiap fase
perkembangan. Dari sejarah panjang filsafat, khususnya filsafat ilmu, penulis
membagi tahapan perkembangannya ke dalam empat fase sebagai berikut: Filsafat Ilmu
zaman kuno, yang dimulai sejak munculnya filsafat sampai dengan munculnya
Renaisance
1.
Filsafat Ilmu sejak munculnya
Rennaisance sampai memasuki era positivism
2.
Filsafat Ilmu zaman Modern, sejak era
Positivisme sampai akhir abad kesembilan belas
3.
Filsafat Ilmu era
kontemporer yang merupakan perkembangan mutakhir Filsafat Ilmu sejak awal abad
keduapuluh sampai sekarang. Perkembangan
Filsafat ilmu pada keempat fase tersebut akan penulis uraikan dengan
mengedepankan aspek-aspek yang mewarnai perkembangan filsafat ilmu di masanya
sekaligus yang menjadi babak baru dan ciri khas fase tersebut yang
membedakannya dari fase-fase sebelum dan atau sesudahnya. Di samping itu penulis
juga akan mengungkap tentang peran filosof muslim dalam perkembangan filsafat
ilmu ini, walaupun bukan dalam suatu fase tersendiri.
a. Filsafat Ilmu Zaman Kuno
Filsafat yang dipandang sebagai induk ilmu pengetahuan telah
dikenal manusia pada masa Yunani Kuno. Di Miletos suatu tempat perantauan
Yunani yang menjadi tempat asal mula munculnya filsafat, ditandai dengan
munculnya pemikir-pemikir (baca: filosof) besar seperti Thales, Anaximandros
dan Anaximenes. Pemikiran filsafat yang memiliki ciri-ciri dan metode
tersendiri ini berkembang terus pada masa selanjutnya.
Pada zaman Yunani Kuno filsafat dan ilmu merupakan suatu hal
yang tidak terpisahkan. Keduanya termasuk dalam pengertian episteme yang
sepadan dengan kata philosophia. Pemikiran tentang episteme ini oleh
Aristoteles diartikan sebagai an organized body of rational konwledge with its
proper object. Jadi filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan yang
rasional. Dalam pemikiran Aritoteles selanjutnya pengetahuan rasional itu dapat
dibedakan menjadi tiga bagian yang disebutnya dengan praktike (pengetahuan
praktis), poietike (pengetahuan produktif), dan theoretike (pengetahuan
teoritis).
Pemikiran dan pandangan Aritoteles seperti tersebut di atas
memberikan gambaran kepada kita bahwa nampaknya ilmu pengetahuan pada masa itu
harus didasarkan pada pengertian dan akibatnya hanya dapat dilaksanakan bagi
aspek-aspek realitas yang terjangkau pikiran. Lalu masuk akal saja kalau orang
berpendapat bahwa kegiatan ilmiah tidak lain daripada menyusun dan mengaitkan
pengertian-pengertian itu secara logis, yang akhirnya menimbulkan kesana bahwa
setiap ilmu pengetahuan mengikuti metode yang hampir sama yaitu mencari
pengertian tentang prima principia, lalu mengadakan deduksi-deduksi logis. Pemikirannya hal
tersebut oleh generasi-generasi selanjutnya memandang bahwa Aristoteleslah
sebagai peletak dasar filsafat ilmu. Selama ribuan tahun sampai dengan akhir abad pertengahan
filsafat logika Aristoteles diterima di Eropa sebagai otoritas yang besar. Para
pemikir waktu itu mengaggap bahwa pemikiran deduktif (logika formal atau
sillogistik) dan wahyu sebagai sumber pengetahuan.
Aristoteles adalah peletak dasar ‘doktrin sillogisme’ yang
sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemimiran di Eropa sampai dengan
munculnya Era Renaisance. Sillogisme adalah argumentasi dan cara penalaran yang
terdiri dari tiga buah pernya-taan, yaitu sebagai premis mayor, premis minor
dan konklusi.
b. Filsafat Ilmu Era
Renaisance
Memasuki masa Rennaisance, otoritas Aritoteles
tersisihkan oleh metode dan pandangan baru terhadap alam yang biasa disebut
Copernican Revolution yang dipelopori oleh sekelompok sanitis antara lain
Copernicus (1473-1543), Galileo Galilei (1564-1542) dan Issac Newton
(1642-1727) yang mengadakan pengamatan ilmiah serta metode-metode eksperimen
atas dasar yang kukuh.
Selanjutnya pada Abad XVII, pembicaraan tentang filsafat ilmu,
yang ditandi dengan munculnya Roger Bacon (1561-1626). Bacon lahir di ambang
masuknya zaman modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Bacon menanggapi
Aristoteles bahwa ilmu sempurna tidak boleh mencari untung namun harus bersifat
kontemplatif. Menurutnya Ilmu harus mencari untung artinya dipakai untuk
memperkuat kemampuan manusia di bumi, dan bahwa dalam rangka itulah ilmu-ilmu
berkembang dan menjadi nyata dalam kehidupan manusia. Pengetahuan manusia hanya
berarti jika nampak dalam kekuasaan mansia; human knowledge adalah human power.
Perkembangan ilmu pengetahuan modern yang berdasar pada metode
eksperimental dana matematis memasuki abad XVI mengakibatkan pandangan
Aritotelian yang menguasai seluruh abad pertengahan akhirnya ditinggalkan
secara defenitif. Roger Bacon adalah peletak dasar filosofis untuk perkembangan
ilmu pengetahuan. Bacon mengarang Novum Organon dengan maksud menggantikan
teori Aristoteles tentang ilmu pengetahuan dengan teori baru. Karyanya tersebut
sangat mempengaruhi filsafat di Inggris pada masa sesudahnya. Novum Organon
atau New Instrumen berisi suatu pengukuihan penerimaan teori empiris tentang
penyelidikan dan tidak perlu bertumpu sepenuhnya kepada logika deduktifnya
Aritoteles sebab dia pandang absurd.
Kehadiran Bacon memberi
corak baru bagi perkembangan Filsafat Ilmu, khususnya tentang metode ilmiah.
Hal ini sebagai yang dikemukakan oleh A. B. Shah dalam Scientific Method,
bahwa: “Pengertian yang paling baik tentang metode ilmiah dapat dilukiskan yang
paling baik menurut induksi Bacon”.
Hart mengaggap Bacon sebagai filosof pertama yang bahwa ilmu
pengetahuan dan filsafat dapat mengubah dunia dan dengan sangat efektif
menganjurkan penyelidikan ilmiah. Beliaulah peletak dasar-dasar metode induksi
modern dan menjadi pelopor usaha untuk mensistimatisir secara logis prosedur
ilmiah. Seluruh asas filsafatnya bersifat praktis yaitu menjadikan untuk
manusia menguasai kekuasaan alam melalui penemauan ilmiah Menurut Bacon, jiwa
manusia yang berakal mempunyai kemamapuan triganda, yaitu ingatan (memoria),
daya khayal (imaginatio) dan akal (ratio). Ketiga aspek tersebut merupakan
dasar segala pengetahuan. Ingatan menyangkut apa yang sudah diperiksa dan
diselidiki (historia), daya khayal menyangkut keindahan dan akal menyangkut
filsafat (philosophia) sebagai hasil kerja akal.
d. Filsafat Ilmu Era
Positivisme
Memasuki abad XIX perkembangan Filsafat Ilmu memasuki Era
Positivisme. Positivisme adalah aliran filsafat yang ditandai dengan evaluasi
yang sangat terhadap ilmu dan metode ilmiah. Aliran filsafat ini berawal pada
abad XIX. Pada abad XX tokoh-tokoh positivisme membentuk kelompok yang terkenal
dengan Lingkaran Wina, di antaranya Gustav Bergman, Rudolf Carnap, Philip Frank
Hans Hahn, Otto Neurath dan Moritz Schlick.
Pada penghujung abad XIX (sejak tahun 1895), pada Universitas Wina Austria telah diajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan Induktif. Hal ini memberikan indikasi bahwa perkembangan filsafat ilmu telah memasuki babak yang cukup menentukan dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dalam abad selanjutnya. Memasuki abad XX perkembangan filsafat ilmu memasuki era baru.
Pada penghujung abad XIX (sejak tahun 1895), pada Universitas Wina Austria telah diajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan Induktif. Hal ini memberikan indikasi bahwa perkembangan filsafat ilmu telah memasuki babak yang cukup menentukan dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dalam abad selanjutnya. Memasuki abad XX perkembangan filsafat ilmu memasuki era baru.
Sejak tahun 1920 panggung filsafat ilmu
pengetahuan didominasi oleh aliran positivisme Logis atau yang disebut
Neopositivisme dan Empirisme Logis. Aliran ini muncul dan dikembangkan oleh
Lingkaran Wina (Winna Circle, Inggris, Wiener Kreis, Jerman). Aliran ini
merupakan bentuk ekstrim dari Empirisme. Aliran ini dalam sejarah pemikiran
dikenal dengan Positivisme Logic yang memiliki pengaruh mendasar bagi
perkem-bangan ilmu. Munculnya aliran ini akibat pengaruh dari tiga arah.
Pertama, Emperisme dan Positivisme. Kedua, metodologi ilmu empiris yang
dikembangkan oleh ilmuwan sejak abad XIX, dan Ketiga, perkembangan logika
simbolik dan analisa logis.
Secara umum aliran ini berpendapat bahwa hanya ada satu sumber
pengetahuan yaitu pengalaman indrawi. Selain itu mereka juga mengakui adanya
dalil-dalil logika dan matematika yang dihasilkan lewat pengalaman yang memuat
serentetan tutologi -subjek dan predikat yang berguna untuk mengolah data
pengalaman indrawi menjadi keseluruhan yang meliputi segala data itu.
Lingkaran Wina sangat memperhatikan dua masalah, yaitu analisa
pengetahuan dan pendasaran teoritis matematika, ilmu pengetahuan alam,
sosiologi dan psikologi. Menurut mereka wilayah filsafat sama dengan wilayah
ilmu pengetahuan lainnya. Tugas filsafat ialah menjalankan analisa logis
terhadap pengetahuan ilmiah. Filsafat tidak diharapkan untuk memecahkan
masalah, tetapi untuk menganalisa masalah dan menjelaskannya. Jadi mereka
menekankan analisa logis terhadap bahasa. Trend analisa terhadap bahasa oleh Harry
Hamersma dianggap mewarnai perkembangan filsafat pada abad XX, di mana filsafat
cenderung bersifat Logosentrisme
e. Filsafat Ilmu
Kontemporer
Perkembangan Filsafat Ilmu di zaman ditandai dengan munculnya
filosof-filosof yang memberikan warna baru terhadap perkembangan Filsafat Ilmu
sampai sekarang.
Muncul Karl Raymund Popper (1902-1959) yang kehadirannya menadai babak baru sekaligus merupakan masa transisi menuju suatu zaman yang kemudian di sebut zaman Filsafat Ilmu Pengetahuan Baru. Hal ini disebabkan Pertama, melalui teori falsifikasi-nya, Popper menjadi orang pertama yang mendobrak dan meruntuhkan dominasi aliran positivisme logis dari Lingkaran Wina. Kedua, melalui pendapatnya tentang berguru pada sejarah ilmu-ilmu, Popper mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu yang baru yang dirintis oleh Thomas Samuel Kuhn.
Muncul Karl Raymund Popper (1902-1959) yang kehadirannya menadai babak baru sekaligus merupakan masa transisi menuju suatu zaman yang kemudian di sebut zaman Filsafat Ilmu Pengetahuan Baru. Hal ini disebabkan Pertama, melalui teori falsifikasi-nya, Popper menjadi orang pertama yang mendobrak dan meruntuhkan dominasi aliran positivisme logis dari Lingkaran Wina. Kedua, melalui pendapatnya tentang berguru pada sejarah ilmu-ilmu, Popper mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu yang baru yang dirintis oleh Thomas Samuel Kuhn.
Para tokoh filsafat ilmu baru, antara lain Thomas S. Kuhn, Paul
Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Palter dan Stephen Toulmin dan Imre Lakatos
memiliki perhatian yang sama untuk mendobrak perhatian besar terhadap sejarah
ilmu serta peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan
wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi. Gejala
ini disebut juga sebagai pemberontakan terhadap Positivisme.
Thomas S. Kuhn populer dengan relatifisme-nya yang nampak
dari gagasan-gagasannya yang banyak direkam dalam paradigma filsafatnya yang
terkenal dengan The Structure of Scientific Revolutions (Struktur Revolusi Ilmu
Pengetahuan).
Kuhn melihat bahwa relativitas tidak hanya terjadi pada Benda
yang benda seperti yang ditemukan Einstein, tetapi juga terhadap historitas
filsafat Ilmu sehingga ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa teori ilmu
pengetahuan itu terus secara tak terhingga mengalami revolusi. Ilmu tidak
berkembang secara komulatif dan evolusioner melainkan secara revolusioner. Salah seorang
pendukung aliran filsafat ilmu Baru ialah Paul Feyerabend (Lahir di Wina,
Austria, 1924) sering dinilai sebagai filosof yang paling kontroversial, paling
berani dan paling ekstrim. Penilaian ini didasarkan pada pemikiran keilmuannya
yang sangat menantang dan provokatif. Berbagai kritik dilontarkan kepadanya
yang mengundang banyak diskusi dan perdebatan pada era 1970-an.
B.
Ilmu Hukum
1)
Hukum
Hukum oleh Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1997) didefinisikan sebagai berikut:
peraturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas;
peraturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas;
a.
Undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur
kehidupan masyarakat;
b.
Patokan (kaidah, ketentuan); dan
c.
Keputusan (pertimbangan) yang ditentukan oleh hakim dalam
pengadilan, vonis.
2)
Unsur-Unsur Hukum
Dari beberapa
perumusan tentang hukum yang diberikan para yuris hukum meliputi beberapa unsur
yaitu :
Ø Peraturan
mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat
Ø Peraturan itu bersifat
memaksa
Ø Sanksi terhadap
pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas
3)
Ciri dan isi kaidah Hukum
Adapun Ciri-Ciri Hukum adalah
Ø Adanya perintah dan/atau
larangan
Ø Perintah
dan larangan itu harus patuh ditaaati setiap orang
Hukum
meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan mengatur hubungan antar sesama
(peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan) yang dinamakan Kaidah Hukum.
Ditinjau dari segi isinya kaidah hukum dapat
dibagi menjadi tiga :
1. Berisi tentang perintah,
Artinya
kaidah hukum tersebut mau tidak mau harus dijalankan atau ditaati, misalnya ketentuan syarat sahnya suatu perkawinan,
ketentuan wajib pajak dsb.
2. Berisi larangan,
Yaitu ketentuan
yang menghendaki suatu perbuatan tidak boleh dilakukan misalnya dilarang
mengambil barang milik orang lain, dilarang bersetubuh dengan wanita yang belum
dinikahi secara sah dsb.
3. Berisi perkenan,
Yaitu ketentuan
yang tidak mengandung perintah dan larangan melainkan suatu pilihan boleh
digunakan atau tidak, namun bila digunakan akan mengikat bagi yang
menggunakannya. Misalnya mengenai perjanjian perkawinan, pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Ketentuan
ini boleh dilakukan boleh juga tidak dilaksanakan.
4) Sistem Hukum
Ada berbagai jenis sistem hukum yang
berbeda yang dianut oleh negara-negara di dunia pada saat ini, antara lain
sistem hukum Eropa Kontinental, sistem hukum Anglo-Saxon, sistem hukum adat,
sistem hukum agama.
a. Sistem Hukum Eropa
Kontinental
Sistem hukum Eropa Kontinental
adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan
hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih
lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di
negara yang menganut sistem hukum ini.
b. Sistem Hukum
Anglo-Saxon
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu
sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan
hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya.
Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru,
Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun
negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim
hukum Eropa Kontinental Napoleon).
Selain negara-negara tersebut,
beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran,
misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem
hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.
c. Sistem Hukum
Adat/Kebiasaan
Hukum adalah adalah seperangkat norma
dan aturan adat/kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah.
d. Sistem Hukum Agama
Sistem hukum agama adalah sistem
hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu. Sistem hukum agama biasanya
terdapat dalam Kitab Suci.
5)
Hukum Indonesia
Indonesia adalah negara yang
menganut sistem hukum campuran dengan sistem hukum utama yaitu sistem hukum
Eropa Kontinental. Selain sistem hukum Eropa Kontinental, di Indonesia juga
berlaku sistem hukum adat dan sistem hukum agama, khususnya hukum (syariah)
Islam. Uraian lebih lanjut ada pada bagian Hukum Indonesia.
6)
FUNGSI HUKUM
a. Hukum berfungsi sebagai
alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Hukum sbg petunjuk bertingkah laku
untuk itu masyarakat harus menyadari adanya perintah dan larangan dalam hukum
sehingga fungsi hukum sebagai alat ketertiban masyarakat dapat direalisir.
b. Hukum sebagai sarana
untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin. Hukum yg bersifat mengikat,
memaksa dan dipaksakan oleh alat negara yang berwenang membuat orang takut
untuk melakukan pelanggaran karena ada ancaman hukumanya (penjara, dll) dan
dapat diterapkan kepada siapa saja. Dengan demikian keadilan akan tercapai.
c. Hukum berfungsi sebagai
alat penggerak pembangunan karena ia mempunyai daya mengikat dan memaksa dapat
dimamfaatkan sebagai alat otoritas untuk mengarahkan masyarakat ke arah yg
maju.
d. Hukum berfungsi sebagai
alat kritik. Fungsi ini berarti bahwa hukum tidak hanya mengawasi masyarakat
semata-mata tetapi berperan juga untuk mengawasi pejabat pemerintah, para
penegak hukum, maupun aparatur pengawasan sendiri. Dengan demikian semuanya
harus bertingkah laku menurut ketentuan yg berlaku dan masyarakt pun akan
merasakan keadilan.
e. Hukum berfungsi sebagai
sarana untuk menyelesaikan pertingkaian. Contoh kasus tanah.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Hakekat Keilmuan
Ilmu Hukum Menurut Filsafat Ilmu
Ilmu Hukum dalam perkembangannya
selalu diperdebatkan keabsahannya sebagai ilmu, baik oleh ilmuwan sosial maupun
ilmuwan hukum sendiri. Sudah sejak lama sebuah pertanyaan timbul dan harus
dijawab secara akademis, apakah ilmu hukam itu ilmu. Dari segi kajian,
penelitian ilmu hukum pada dasarnya bukanlah untuk melakukan verifikasi atau
menguji hipotesis sebagaimana penelitian ilmu sosial maupun penelitian ilmu
alamiah. Dalam penelitian hukum tidak dikenal istilah data. Perbedaan metode
kajian terhadap ilmu hukum pada dasarnya, beranjak dari sifat dan karakter ilmu
hukum itu sendiri. Pandangan epistemologi bisa merujuk pendapat Philipus M.
Hadjon, yang mengemukakan bahwa
“Ilmu
hukum memiliki karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif, praktis, dan
preskriptif. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif mempelajari tujuan hukum,
nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan
norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur,
rambu-rambu dalam menetapkan aturan.”
Ilmu hukum dibagi menjadi tiga
lapisan yaitu dogmatik hukum, teori hukum dan filafat hukum. Ilmu hukum dalam
kenyataannya juga mempunyai dua aspek yaitu aspek praktis dan teoretis. Ilmu
hukum dalam aspek praktis digunakan untuk memecahkan masalah hukum.
Dalam tataran teoretis ilmu hukum
digunakan untuk pengembangan ilmu melalui penelitian normatif dengan pendekatan
undang-undang, pendekatan kasus, pendekatan komparatif dan pendekatan konseptual[8]
Pandangan dari aspek ontologi ilmu hukum obyek kajiannya adalah hukum.
Mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Sedangkan
arti hukum sebagai obyek kajian ilmu hukum ada beberapa pengertian misalnya Van
Kan menyatakan bahwa hukum adalah ketentuan hidup yang bersifat memaksa yang
melindungi kepentingan orang dalam masyarakat. Rudolf von Jehring menyatakan
hukum adalah keseluruhan peraturan atau ketentuan yang bersifat memaksa yang
berlaku dalam suatu negara. E.Utrecht menyatakan hukum adalah himpunan petunjuk
hidup yang mengandung perintah dan larangan yang mengatur tingkah laku atau
ketertiban dalam masyarakat dan bagi yang melanggar akan dikenai tindakan
penguasa.
Perkembangan ilmu hukum dari sudut
pandang filsafat ilmu dapat diketahui melalui 3 (tiga) pendekatan keilmuan
filsafat ilmu yaitu sebagai berikut :
Dari
aspek aksiologi dapat diuraikan tentang kegunaan dari ilmu hukum yaitu sebagai
berikut:
a. Mempersiapkan
putusan hukum pada tataran mikro maupun makro;
b. Menunjukkan
apa hukumnya tentang hal tertentu;
c. Mengeliminasi
kontradiksi yang tampak dalam tata hukum; kritik dan menyarankan amandemen
terhadap peraturan dan undang-undang yang ada serta pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baru; analsis kritis terhadap putusan hakim untuk
pembinaan yurisprudensi
Sementara itu tujuan ilmu hukum
adalah antara lain :
a. Memaparkan
secara sistematis material hukum (produk perundang-undangan, yurisprudensi, hukum
tidak tertulis, dan doktrin);
b. Menunjukkan
apa hukumnya tentang hal tertentu dengan mengacu aturan hukumyang relevan;
c. Memberikan
penjelasan historis tentang situasi tatanan hukum yang berlaku;
d. Memberikan
kritik terhadap tatanan hukum, aturan hukum positif atau putusan hukum berdasarkan
doktrin, kebijakan dan politik hukum yang sudah disepakati dengan mengacu cita
hukum, cita negara dan tujuan negara;
e. Merekomendasikan
interpretasi terhadap aturan hukum, jika aturan hukum itu kabur atau tidak
memberikan kepastian; Mengusulkan amandemen terhadap peraturan
perundang-undangan yang ada atau pembentukan undang-undang baru[9]
B.
Perkembangan Ilmu
Hukum Menurut Filsafat Ilmu
Perkembangan filsafat ilmu dalam
pusaran ilmu era globalisasi juga mempengaruhi perkembangan ilmu hukum di
Indonesia. Hukum menjadi patron terdepan dalam mengatur kehidupan manusia dalam
inter waktu yang berbeda-beda. Oleh karena perkembangan pengetahuan yang
semakin cepat maka transormasi hukum di dunia juga mengalami evolusi, Berdasarkan
hal ini filsafat ilmu memandang ilmu hukum terbagi menjadi 2 yaitu ilmu hukum
yang praktis (practical science) dan yang teoritis (teoritical science) inilah
yang disebut hakikat keilmuan dari ilmu hukum-- walaupun tanpa bermaksud untuk
menyederhanakan masalah, maka
sesungguhnya dapat dicari jawabnya dari sudut pemilahan ini. Hukum
adalah tatanan normatif, dan oleh karena itu ilmu yang mempelajari hukum juga
harus berkarakter normatif. Pernyataan demikian tidaklah keliru, namun harus
segera ditambahkan bahwa pandangan demikian itu tidaklah menangkap esensi dari
hukum secara utuh, yang dengan demikian ada kekurangan dalam memahami ilmu
hukum secara utuh pula. Pengingkaran terhadap keberadaan sub-sub sistem lain
dalam hukum, dan hanya berfokus pada sistem peraturan sembari melupakan adanya
subsistem kelembagaan (legal structure) dan subsistem budaya (legal culture)
menjadikan ilmu hukum menjadi berat sebelah. Dalam khasanah ilmu hukum dapat
dijumpai, mereka yang berada dalam kubu ilmu hukum normatif telah melahirkan
ajaran-ajaran: Ideenjurisprudenz, Algemeine Rechtsleer; Begriffsjurisprudenz;
Analitical Jurisprudence, selain juga Rechtsdogmatiek. Sementara itu dari kubu
yang non-normatif dijumpai ajaran ajaran Interessenjurisprudenz, hukum sebagai
kaidah (nilai-nilai) bukannya sekedar aturan formal.
Akhirnya keabsahan sosialitas juga
menuntut Freirechtslehre, Socilogical
Jurisprudence ilmu hukum untuk
memberi penjelasan dan Critical Legal Studies. Ilmu hukum normatif yang
berbasis peraturan (rechtsdogmatiek), dapatlah disebut sebagai ilmu
hukum praktis. Bidang penggarapannya hanyalah sebatas pada
teks-teks normatif yang disebut hukum positif. Dengan cara kerja yang serba
deduktif, ilmu hukum ini berusaha mencari kaitan logis antara peraturan dengan
fakta yang terjadi. Kesibukan hanya berputar pada pencarian dan pengkaitan
antara asas, doktrin, norma dan fakta hukum. Ilmu hukum yang berkualitas
demikian inilah yang saat ini mendominasi penguasaan ilmu hukum di Indonesia.
Pada pendidikan ilmu hukum,
kendatipun diberikan pada level perguruan tinggi (Strata 1), namun karena dalih untuk menciptakan tenaga emberional di
bidang hukum (hakim, jaksa, pengacara,
polisi,dsb), maka kualitas keilmuan yang diberikan hanyalah
sebatas ilmu hukum praktis yang menekankan pada pembelajaran dan pemberian
keterampilan (skill) tanpa menukik ke dalam asal muasal, landasan filosofis,
landasan teleologis serta relevansi sosial dimana norma hukum itu berada. Sisi
lain dari ilmu hukum juga menampakkan dirinya sebagai ilmu hukum teoritis.
Berbeda dengan ilmu hukum yang
praktis sebagaimana dijelaskan di muka, ilmu hukum teoritis tidak sekedar
memaknai dirinya sebagai ilmu tentang peraturan positif. Dalam perspektif ilmu
hukum teoritis aspek peraturan hanyalah dipakai sebagai sandaran untuk kemudian
dicari penjelasannya, baik yang berkait
dengan keabsahan idealitas, normativitas maupun sosialitas
berlakunya. Seberapa jauh norma-norma hukum tersebut dikukuhi oleh masyarakat
dan ember dayaguna bagi kemaslahatan masyarakat yang bersangkutan. Uraian
perihal nilai-nilai dasar dan dasar keabsahan dari hukum ini telah dikupas oleh Gustav Radbruch,
sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo dalam bukunya Ilmu Hukum[10]
“Dengan menyadari
karakteristik keilmuan dari ilmu
hukum di atas, baik yang praktis maupun yang teoritis, maka pencarian kebenaran
sebagaimana menjadi tujuan bagi segenap ilmu pengetahuan, bagi ilmu hukum
praktis kebenaran itu
sudah tercukupi manakala terdapat
hubungan yang logis, rasional dan sistematis antara peraturan di satu pihak
dengan fakta atau kenyataan hukum di pihak yang lain.”
Sementara itu bagi ilmu hukum
teoritis, tujuan yang hendak dicapai adalah kebenaran yang lebih utuh,
yaitu, meminjam istilah yang dipakai oleh Satjipto Rahardjo adalah
kebenaran ilmu hukum sebagai sebenar ilmu (genuine science)
Dalam pengertiannya yang terakhir
ini, yakni ilmu hukum sebagai sebenar ilmu, maka ilmu hukum ingin menjelaskan
segala seluk- beluk yang berkaitan dengan hukum, segala hal untuk bisa
menjelaskan kenyataan yang penuh tentang hukum, yakni menjelaskan, memahami,
mencari asal-usul, mencari makna di
belakang kenyataan dan
sebagainya. Menjelaskan hukum secara penuh berarti pula menerima apa
saja yang terjadi pada dan berhubungan dengan hukum, tidak saja ketika hukum
itu tampil dalam wujud keteraturan (ordered), tetapi juga ketika hukum itu
adalah Berkaitan dengan keabsahan idealitas, ilmu hukum teoritik
berusaha menjelaskan keterkaitan
antara norma hukum dengan sesuatu yang disordered.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan Bab pembahasan diatas kami menyimpulkan bahwa
1. Hakekat
keilmuan ilmu hukum jika dipandang dari filsafat ilmu dapat diketahui melalui 3
(tiga) pendekatan yang ada yaitu Ontologi,Epistemologi, dan Aksiologi. Ontologi
dalam ilmu hukum adalah hukum sedangkan
epistemologi yaitu untuk memahami hukum bisa dalam tataran teoretis ilmu
hukum pengembangan ilmu melalui
penelitian normatif dengan pendekatan undang-undang, pendekatan kasus,
pendekatan komparatif dan pendekatan konseptual. Sedangkan aksiologi ilmu hukum
adalah dapat dilihat kegunaan dari ilmu
hukum yaitu sebagai berikut: a. Mempersiapkan putusan hukum pada tataran mikro
maupun makro; b. Menunjukkan apa hukumnya tentang hal tertentu; c.
Mengeliminasi kontradiksi yang tampak dalam tata hukum; kritik dan menyarankan
amandemen terhadap peraturan dan undang-undang yang ada serta pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baru; analsis kritis terhadap putusan hakim
untuk pembinaan yurisprudensi.
2. Perkembangan
Ilmu Hukum dalam pandangan filsafat ilmu dapat dikelompokan menjadi 2 (dua)
yaitu ilmu hukum yang praktis (practical science) dan yang teoritis (teoritical
science) inilah yang disebut hakikat keilmuan dari ilmu hukum.
B.
Saran
Perkembangan filsafat ilmu sangat
memberikan pengaruh besar terhadap efektivitas dari keberadaan ilmu hukum di
dunia khususnya namun tak jarang hal ini belum diketahui oleh mahasiswa hukum.
Banyak faktor penyebabnya salah satunya pragmatism dan masifnya para penggiat
hukum menyebabkan kakunya perkembangan hukum khususnya di Indonesia. Olehnya
itu kami mengharapkan para civitas akademika yang fokus pada bidang hukum untuk
memahami dan mempelajari filsafat ilmu sebagai sub materi dari perkembangan
ilmu hukum. Hal ini diperlukan untuk memberikan pemahaman komprehensif pada
mereka-mereka dan juga tidak terjadi the
wrong mind set (salah tafsir) terhadap ilmu hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
warson munawwir al-munawwir. 1984. Kamus Arab-Indonesia. Pondok Pesanteren
Al-Munawwir Krapyak. Yokyakarta.
Bakhtiar
Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada
Bernard
Arief Sidharta. 2000. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung. CV. Mandar Maju.
Jujun
S Suriasumantri. 1998. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Kartanegara
Mulyahdhi. 2003.Pengantar Epistimologi Islam . Bandung : Mizan
Mulyadhi
Kartanegara. 2003. Pengantar Epistemology Islam . Bandung. Mizan.
Peter
Mahmud. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta. Kencana Prenada media Group.
Rahardjo,
Satjipto, 2004, Ilmu Hukum : Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Muhamadiyah
University Press.
Rapar
HendrikJan . 1996. Pengantar Filsafat.
Yogyakarta : Pustaka Filsafat.
Wihadi
admojo. 1998. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
[1] Jan Hendrik
Rapar, Pengantar Filsafat, Kanisius Yogyakarta,
1996, hlm. 412.
[2]
Kartanegara,Mulyahdhi.2003.Pengantar Epistimologi Islam . Mizan. Bandung
[3] Amsal
Bakhtiar.2012. Filsafat Ilmu.
Rajagrafindo Persada. Jakarta
[4] Ahmad warson
munawwir, al-munawwir. 1984. kamus arab-indonesia. pondok pesanteren
al-munawwir krapyak. Yokyakarta.
[5] Jujun S
Suriasumantri. 1998. filsafat ilmu sebuah pengantar popular. pustaka sinar
harapan. Jakarta
[6] Wihadi admojo.1998.
kamus bahasa Indonesia.balai pustaka. Jakarta
[7] Mulyadhi
Kartanegara.2003. Pengantar Epistemology
Islam .Mizan. Bandung
[8] Peter Mahmud,
Penelitian Hukum, Jakarta : Media Group hlm. 15
[9] Bernard Arief
Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung : CV Mandar Maju, hlm.
106
[10] Rahardjo,
Satjipto, Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Muhamadiyah University Press,
hlm. 11
1 opmerkings: