Vrydag 19 April 2013

1

HUBUNGAN FILSAFAT ILMU TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU HUKUM DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
            Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun secara historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaiknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat.  Filsafat telah berhasil mengubah pola pemikirang bangsa Yunani dan ummat manusia dari pandangan metosentris menjadi logosentris. Awalnya bangsa Yunani dan bangsa lain di dunia beranggapan bahwa semua kejadian di alam ini dipengaruhi oleh para dewa. Karenanya para dewa harus dihormati dan sekaligus ditakuti kemudian disembah. Dengan filsafat, pola pikir yang selalu bergantung pada dewa diubah menjadi pola pikir yang bergantung pada rasio. Kejadian alam, seperti gerhana tidak lagi dianggap sebagai kegiatan dewa yang tertidur, tetapi merupakan kejadian alam yang disebabkan oleh matahari, bulan, dan bumi berada pada garis yang sejajar, sehingga bayagan-bayagan bulan menimpa sebagai permukaan bumi.
            Perubahan berpikir dari mitosentris ke logosentris membawa implikasi yang tidak kecil. Alam dengan segala gejalanya, yang selam ini diketahui kemudian didekati dan bahkan dieksploitasi. Perubahan yang mendasar adalah ditemukaannya hukum-hukum alam dan teori-teori ilmiah yang menjelaskan perubahan yang terjadi, baik di alam jagad raya (makrokosmos) maupun alam manusia (mikrokosmos). Dari alam jagad raya bermunculan ilmu astronomi, kosmologi, fisika, kimia, dan sebagainya, sedangkan dari manusia muncul ilmu biologi,psikologi,sosiologi, dan sebagainya. ilmu-ilmu tersebut kemudian menjadi lebih terspesialisasi dalam bentuk yang lebih kecil dan sekaligus semakin aplikatif dan terasa manfaatnya.
            Pada perkembangan selanjutnya, Ilmu terbagi dalam beberapa disiplin, yang membutuhkan pendekatan, sifat, objek, tujuan, dan ukuran yang berbeda antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya. Pada giliranya, cabang ilmu semakin subur dengan segala variasinya. Namun tidak dapat juga dipungkiri bahwa ilmu yang terspesialisasi itu semakin menambah sekat-sekat antara satu disiplin ilmu dengan dengan disiplin ilmu lain, sehingga muncul arogansi ilmu, yang satu terhadap yang lainnya.
            Tidak hanya sekedar sekat-sekat antara disiplin ilmu dan arogansi ilmu, tetapi yang terjadi adalah terpisahnya ilmu dengan nilai-nilai luhur ilmu, yaitu untuk mensejahterakan umat manusia. Bahkan tidak mustahil terjadi, ilmu menjadi bencana bagi kehidupan ummat manusia, seperti pemanasan global dan dehumanisasi.
            Perkembangan ilmu yang sangat cepat tidak saja membuat ilmu semakin jauh dari induknya, tetapi juga mendorong mundurnya arogansi dan bahkan kompartementalisasi yang tidak sehat antara satu bidang ilmu dengan yang lain. Ilmu sebagai objek kajian filsafat, sepatutnya mengikuti alur filsafat, yaitu objek material yang didekati lewat pendekatan radikal, menyeluruh, dan rasional. Begitu juga sifat pendekatan spekulatif dalam filsafat sepatutnya merupakan bagian dari ilmu karena ilmu dilihat pada posisi yang tidak mutlak sehingga masih ada ruang untuk berspekulasi demi pengembangan ilmu itu sendiri.
            Seiring dengan perkembangan itu, wilayah pengetahuan manusia semakin luas dan bertambah banyak tetapi juga semakin mengkhusus. Lalu lahirlah berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang satu per satu mulai memisahkan diri dari filsafat. Kendati berbagai disiplin ilmu pengetahuan telah memisahkan diri dari filsafat, masalah-masalah pokok yang dihadapi filsafat tak pernah berkurang. Karena banyaknya masalah pokok yang harus dibahas dan dipecahkan, filsafat pun dibagi ke dalam bidang-bidang studi yang sesuai dengan kelompok permasalahan pokok yang dihadapinya.  Menurut ENSIE (Eerste Nederlandse Systematich Ingerichte Encyclopaedie)[1] membagi filsafat ke dalam sepuluh cabang sebagai berikut: a. Filsafat Logika. b.Epistemologi c. Filsafat Naturalis d. Filsafat Kultural e. Filsafat Sejarah f. Filsafat Etika g. Filsafat Ilmu h. Filsafat Metafisika i. Filsafat Estetika j. Filsafat Manusia
            Dari pembagian cabang filsafat tersebut dapat disimpulkan bahwa Filsafat ilmu merupakan cabang ilmu filsafat yang sangat berguna untuk menjelaskan apa tujuan ilmu bagi manusia. Dalam pengertiannya filsafat ilmu merupakan kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu, karena hakekat pandangan filsafat ilmu terhadap tujuan diciptakan ilmu oleh manusia adalah untuk membantunya mengatasi masalah dalam kehidupannya. Sebagai alat ilmu diyakini dapat mengantarkan manusia menemukan kebenaran dan atas dasar itu manusia mempergunakannya untuk menjelaskan masalah, mengendalikan, serta meramalkan. Setiap ilmu hanya mengkaji salah satu dimensi kehidupan manusia dan dari dimensi itulah lantas ilmu menciptakan metode untuk memahami dimensi tersebut. Oleh sebab itu, dalam memahami objek itu ilmu menciptakan sistematika dan metode yang merupakan dua syarat dasar dari suatu ilmu. Metode siklis, yaitu metode yang diterapkan oleh fisika dengan langkah-langkah yaitu (1) observasi, (2) induksi, (3) deduksi, (4) eksperimentasi, dan (5) evaluasi dijadikan standar untuk menentukan keabsahan suatu ilmu.
            Berdasarkan penjelasan ini penulis menilai filsafat ilmu memberi pengaruh terhadap perkembangan ilmu  di dunia khususnya ilmu hukum di indonesia salah satunya filsafat ilmu bisa digunakan sebagai bahan dasar pembuat teori hukum untuk membentuk ilmu hukum tersebut. Dalam hal ini, teori hukum memang sengaja dirancang untuk lebih bersifat aplikatif dan mampu mmenjawab persoalan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Filsafat ilmu bisa menjadi dasar bagi suatu perenungan atau pemikiran secara ketat, secara mendalam tentang pertimbangan nilai-nilai di balik gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindera manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Mengingat objek filsafat ilmu adalah pengetahuan, maka masalah atau pertanyaan yang dibahas oleh filsafat ilmu itupun antara lain berkaitan dengan manfaat dari pengetahuan itu sendiri.

B.       Rumusan Masalah
            Berdasarkan penjelasan tersebut diatas kami merumuskan pokok persoalan yaitu sebagai berikut :
1.      Bagaimana hakekat keilmuan ilmu hukum menurut pandangan Filsfat Ilmu ?
2.      Bagaimana perkembangan ilmu hukum di Indonesia  menurut Filsafat Ilmu ?






C.      Tujuan dan Manfaat
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
a)      Untuk mengetahui hakekat keilmuan ilmu hukum menurut pandangan Filsfat Ilmu.
b)      Untuk memahami perkembangan ilmu hukum di Indonesia  dihubungakan dengan Filsafat Ilmu.
            Adapun manfaat dari penulisan makalah ini, menurut penulis terbagi menjadi 2 (dua) yaitu
a)      Manfaat Teoritis
Ø  Kajian Filsafat Ilmu bisa menambah khasanah ilmu pengetahuan kepada civitas akademika di Bidang profesi apapun.
Ø  Penulisan makalah ini sebagai wujud untuk memberikan pemahaman komprehensif terhadap civitas akademika dan umum akan pengetahuan tentang perkembangan filsafat ilmu pada tatanan hukum di Indonesia.
Ø  Bisa menjadi panduan bagi penulis-penulis lainnya yang membahas pokok materi yang sama.
b)     Manfaat Praktis
Ø  Meningkatkan pemahaman mendalam akan historical pengembangan kajian filsafat ilmu terhadap sejarah pemebentukan hukum di Indonesia.
Ø  Menjadi sarana praktikal dalam menyusun dan memahami kembali pengaruh filsafat ilmu terhadap ilmu-ilmu masa kini khusus ilmu hukum di Indonesia.







BAB II
TINJAUAN UMUM FILSAFAT ILMU DAN ILMU HUKUM

A.      Filsafat Ilmu
1)      Filsafat
                               I.            Definisi Filsafat
Filsafat dalam  bahasa Inggris, yaitu philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri atas duakata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis,inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan ataukebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof) dalampengertian pencinta kebijaksanaan. Kata falsafah merupakan arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budimengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusiafilosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan bersifat spiritual.
Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak. Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu.
Defenisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah masalah falsafi pula. Menurut para ahli logika ketika seseorang menanyakan pengertian (defenisi/hakikat) sesuatu, sesungguhnya ia sedang bertanya tentang macam-macam perkara. Tetapi paling tidak bisa dikatakan bahwa “falsafah” itu kira-kira merupakan studi yang didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk ini, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektika. Dialektika ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog.
Adapun beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof adalah:
1. Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas.
2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar secara nyata.
3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan sumber daya, hakikatnya keabsahannya, dan nilainya.
4. Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
5. Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu Anda melihat apa yang Anda katakan dan untuk menyatakan apa yang Anda lihat.
Plato (427–348 SM) menyatakan filsafat ialah pengetahuan yang bersifat untuk mencapai kebenaran yang asli. Sedangkan Aristoteles (382–322 SM) mendefenisikan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan filosof lainnya Cicero (106–043 SM) menyatakan filsafat ialah ibu dari semua ilmu pengetahuan lainnya. Filsafat ialah ilmu pengetahuan terluhur dan keiginan unutk mendapatkannya.
Menurut Descartes (1596–1650), filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokokpenyelidikannya. Sedangkan Immanuel Kant (1724–1804) berpendapat filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya 4 persoalan:
a.       Apakah yang dapat kita ketahui? Jawabannya termasuk dalam bidang metafisika.
b.      Apakah yang seharusnya kita kerjakan? Jawabannya termasuk dalam bidang etika.
c.       Sampai di manakah harapan kita? Jawabannya termasuk pada bidang agama.
d.      Apakah yang dinamakan manusia itu? Jawabannya termasuk pada bidang antropologi.




Setidaknya ada tiga karakteristik berpikir filsafat yakni:
1.    Sifat menyeluruh: seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika hanya mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin tahu hakikat ilmu dari sudut pandang lain, kaitannya dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu ini akan membawa kebahagian dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan tidak merasa sombong dan paling hebat. Di atas langit masih ada langit. contoh: Socrates menyatakan dia tidak tahu apa-apa.
2.    Sifat mendasar: yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah pertanyaan yang melingkar yang harus dimulai dengan menentukan titik yang benar.
3.    Spekulatif: dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan titik awal sebuah lingkaran yang sekaligus menjadi titik akhirnya dibutuhkan sebuah sifat spekulatif baik sisi proses, analisis maupun pembuktiannya. Sehingga dapat dipisahkan mana yang logis atau tidak.

                            II.            Proses Kelahiran Filsafat
            Filsafat, sebagai bagian dari kebudayaan manusia yang amat menakjubkan, lahir di Yunani dan dikembangkan sejak awal abad ke-6 SM. Proses kelahiran filsafat itu membutuhkan waktu yang amat panjang. Ketika suku-suku bangsa Hellenes menyerbu masuk ke tanah Yunani sekitar tahun 2000 SAMA, mereka masih merupakan pengembara-pengembara kasar yang belum mengenal peradaban. Mereka baru berhasil menaklukkan Yunani dan menyingkirkan penduduk aslinya setelah mereka mengambil alih peradaban dan kebudayaan penduduk asli, yang pada masa itu telah mencapai tingkat cukup mengagumkan.
            Selanjutnya, kendati orang-orang Yunani telah memperoleh tempat pemukiman yang tetap, banyak di antara mereka yang gemar merantau, khususnya ke dunia timur yang saat itu telah memiliki peradaban dan kebudayaan yang tinggi. Mereka merantau sampai ke Mesir dan Babylonia yang telah mengembangkan pengetahuan tulis-menulis, astronomi, dan matematika, yang prinsip dasarnya telah diletakkan oleh bangsa Sumeria. Bagaimanapun juga, orang-orang Yunani tentu saja berhutang budi kepada orang-orang Sumeria yang telah menemukan sistem hitungan sixagesimal yang didasarkan atas jumlah enam sebagai satuan kelipatan sehingga mereka telah mengenal pembagian waktu: satu jam terdiri dari enam puluh menit dan satu menit terdiri dari enam puluh detik. Bangsa Sumeria jugalah yang menemukan pembagian lingkaran ke dalam tiga ratus enam puluh derajat.
            Memang, orang-orang Yunani berhasil mengolah berbagai ilmu pengetatahuan yang mereka peroleh dari dunia Timur itu menjadi benar-benar rasional ilmiah dan berkembang pesat. Pemikiran rasional-ilmiah itulah yang melahirkan filsafat. Para filsuf Yunani pertama, yang mulai berfilsafat di Asia Kecil, sebenarnya adalah ahli-ahli matematika, astronomi, ilmu bumi, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Karena itu, pada tahap awal, filsafat mencakup seluruh ilmu pengetahuan. Para filsuf Yunani pertama tersebut dikenal sebagai filsuf-filsuf alam. Mereka berpikir tentang alam: apakah intinya, bagaimanakah menerangkan peri adanya dan apakah sifat-sifatnya yang paling hakiki. Dengan demikian, filsafat yang pertama lahir adalah filsafat alam.
            Akan tetapi, filsafat pada masa awal itu sulit untuk diuraikan dan dipaparkan secara jelas dan pasti karena banyak filsuf tidak menulis sesuatu apa pun sehingga ajaran mereka hanya dapat diketahui dari orang lain. Ada juga filsuf-filsuf yang menulis, tetapi sebagian karya tulis mereka hilang sehingga yang tinggal hanya beberapa fragmen. Ada pula yang hanya tersisa satu atau dua kalimat yang kebetulan dikutip oleh pemikir lainnya. Terlepas dari keadaan dan keberadaan para filsuf yang baru mengembangkan filsafat itu, yang penting dicatat ialah bahwa mereka telah berani mengayunkan langkah awal yang amat menentukan bagi pertumbuhan perkembangan filsafat serta ilmu pengetahuan. Mereka berani menolak meninggalkan cara berpikir yang irasional dan tidak logis, kemudian mulai menempuh jalan pemikiran rasional-ilmiah yang semakin sistematis. Cara berpikir rasional-ilmiah itu pulalah yang menghasilkan gagasan-gagasan yang terbuka untuk diteliti oleh akal budi. Selain itu, dapat didiskusikan lebih lanjut demi meraih konsep-konsep baru dan kebenan-kebenaran baru yang diharapkan lebih sesuai dengan realitas sesungguhnya.



                         III.            Klasifikasi Filsafat
Di seluruh dunia, banyak orang yang menanyakan pertanyaan yang sama dan membangun tradisi filsafat, menanggapi dan meneruskan banyak karya-karya sesama mereka. Oleh karena itu filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan budaya. Pada dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Islam  ”.
a.      Filsafat Barat
            Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno.
Dalam pemikiran barat konvensional pemikiran yang sistematis, radikal, dan kritis seringkali merujuk pengertian yang ketat dan harus mengandung kebenaran logis. Misalnya aliran empirisme, positivisme, dan filsafat analitik memberikan criteria bahwa pemikiran dianggap filosofis jika mengadung kebenaran korespondensi dan koherensi. Korespondensi yakni sebuah pengetahuan dinilai benar jika pernyataan itu sesuai dengan kenyataan empiris. Contoh jika pernyataan ”Saat ini hujan turun”, adalah benar jika indra kita menangkap hujan turun, jika kenyataannya tidak maka pernyataannya dianggap salah. Koherensi berarti sebuah pernyataan dinilai benar jika pernyataan itu mengandung koherensi logis (dapat diuji dengan logika barat).
Dalam filsafat barat secara sistematis terbagi menjadi tiga bagianbesar yakni: (a) bagian filsafat yang mengkaji tentang ada (being), (b) bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epistimologi dalam arti luas), (c) bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai menentukan apa yang seharusnya dilakukan manusia (aksiologi).
Beberapa tokoh dalam filsafat barat yaitu:
1.         Wittgenstein mempunyai aliran analitik (filsafat analitik) yang dikembangkan di negara-negara yang berbahasa Inggris, tetapi juga diteruskan di Polandia. Filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang berbau ″metafisik”. Filsafat analitik menyerupai ilmu-ilmu alam yang empiris, sehingga kriteria yang berlaku dalam ilmu eksata juga harus dapat diterapkan pada filsafat. Yang menjadi obyek penelitian filsafat analitik sebetulnya bukan barang-barang, peristiwa-peristiwa, melainkan pernyataan, aksioma, prinsip. Filsafat analitik menggali dasar-dasar teori ilmu yang berlaku bagi setiap ilmu tersendiri. Yang menjadi pokok perhatian filsafat analitik ialah analisa logika bahasa sehari-hari, maupun dalam mengembangkan sistem bahasa buatan.
2.         Imanuel Kant mempunyai aliran atau filsafat ″kritik” yang tidakmau melewati batas kemungkinan pemikiran manusiawi. Rasionalisme dan empirisme ingin disintesakannya. Untuk itu ia membedakan akal, budi, rasio, dan pengalaman inderawi. Pengetahuan merupakan hasil kerja sama antara pengalaman indrawi yang aposteriori dan keaktifan akal, faktor priori. Struktur pengetahuan harus kita teliti. Kant terkenal karena tiga tulisan: (1) Kritik atas rasio murni, apa yang saya dapat ketahui. Ding an sich, hakikat kenyataan yang dapat diketahui. Manusia hanya dapat mengetahui gejala-gejala yang kemudian oleh akal terus ditampung oleh dua wadah pokok, yakni ruang dan waktu. Kemudian diperinci lagi misalnya menurut kategori sebab dan akibat dst. Seluruh pengetahuan kita berkiblat pada Tuhan, jiwa, dan dunia. (2) Kritik atas rasio praktis, apa yang harus saya buat. Kelakuan manusia ditentukan oleh kategori imperatif, keharusan mutlak: kau harus begini dan begitu. Ini mengandaikan tiga postulat: kebebasan, jiwa yang tak dapat mati, adanya Tuhan. (3) Kritik atas daya pertimbangan. Di sini Kant membicarakan peranan perasaan dan fantasi, jembatan antara yang umum dan yang khusus.
3.         Rene Descartes. Berpendapat bahwa kebenaran terletak pada diri subyek. Mencari titik pangkal pasti dalam pikiran dan pengetahuan manusia, khusus dalam ilmu alam. Metode untuk memperoleh kepastian ialah menyangsikan segala sesuatu. Hanya satu kenyataan tak dapat disangsikan, yakni aku berpikir, jadi aku ada. Dalam mencari proses kebenaran hendaknya kita pergunakan ide-ide yang jelas dan tajam. Setiap orang, sejak ia dilahirkan, dilengkapi dengan ide-ide tertentu, khusus mengenai adanya Tuhan dan dalil-dalil matematika. Pandangannya tentang alam bersifat mekanistik dan kuantitatif. Kenyataan dibaginya menjadi dua yaitu: “res extensa dan res copgitans”.





b.      Filsafat Timur
       Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok, dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas filsafat timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk filsafat barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Namanama beberapa filosof: Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi, dan lain-lain.
       Pemikiran filsafat timur sering dianggap sebagai pemikiran yang tidak rasional, tidak sistematis, dan tidak kritis. Hal ini disebabkan pemikiran timur lebih dianggap agama dibanding filsafat. Pemikiran timur tidak menampilkan sistematika seperti dalam filsafat barat. Misalnya dalam pemikiran Cina sistematikanya berdasarkan pada konstrusksi kronologis mulai dari penciptaan alam hingga meninggalnya manusia dijalin secara runut.
       Belakangan ini, beberapa intelektual barat telah beralih ke filsafat timur, misalnya Fritjop Capra, seorang ahli fisika yang mendalami taoisme, untuk membangun kembali bangunan ilmu pengetahuan yang sudah terlanjur dirongrong oleh relativisme dan skeptisisme. Skeptisisme terhadap metafisika dan filsafat dipelopori oleh Rene Descartes dan William Ockham.

c.       Filsafat Islam 
       Filsafat Islam   ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filosof dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat (Yunani)
       Terdapat dua pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam   terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine (354–430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480–524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam   seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories, dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahanterjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam  .
       Majid Fakhri cenderung mengangap filsafat Islam   sebagai matarantai yang menghubungkan Yunani dengan Eropa modern. Kecenderungan inidisebut europosentris yang berpendapat filsafat Islam   telah berakhir sejak kematian Ibn Rusyd. Pendapat ini ditentang oleh Henry Corbin dan Louis Massignon yang menilai adanya eksistensi filsafat Islam  . Menurut Kartanegara (2003) dalam filsafat Islam   ada empat aliran yakni:
1.      Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau epistimologis adalah menggunakan logika formal yang berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni: Al Kindi (w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), Ibn Rusyd (w. 1196), dan Nashir al Din Thusi (w.1274).
2.      Aliran Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir Iran, Suhrawardi Al Maqtul (w. 1191). Aliran ini memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif (irfani). Menurutnya dunia ini terdiri dari cahaya dan kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya sebagai satu-satunya realitas sejati (nur al anwar), cahaya di atas cahaya.
3.      Aliran Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman mistis yang bersifat supra-rasional. Jika pengenalan rasional bertumpu pada akal maka pengenalan sufistik bertumpu pada hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.
4.      Aliran Hikmah Muta’aliyyah (Teosofi Transeden). Diwakili oleh seorang filosof syi’ah yakni Muhammad Ibn Ibrahim Yahya Qawami yang dikenal dengan nama Shadr al Din al Syirazi, Atau yang dikenal dengan Mulla Shadra yaitu seorang filosof yang berhasil mensintesiskan ketiga aliran di atas[2].

       Dalam Islam   ilmu merupakan hal yang sangat dianjurkan. Dalam Al Quran kata al-ilm dan kata-kata jadiannya digunakan lebih 780 kali. Hadis juga menyatakan mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Dalam pandangan Allamah Faydh Kasyani dalam bukunya Al Wafi: ilmu yang diwajibkan kepada setiap muslim adalah ilmu yang mengangkat posisi manusia pada hari akhirat, dan mengantarkannya pada pengetahuan tentang dirinya, penciptanya, para nabinya, utusan Allah, pemimpin Islam  , sifat Tuhan, hari akhirat, dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah.
       Dalam pandangan keilmuan Islam  , fenomena alam tidaklah berdiri tanpa relasi dan relevansinya dengan kuasa ilahi. Mempelajari alam berarti akan mempelajari dan mengenal dari dekat cara kerja Tuhan. Dengan demikian penelitian alam semesta (jejak-jejak ilahi) akan mendorong kita untuk mengenal Tuhan dan menambah keyakinan terhadapnya. Fenomena alam bukanlah realitas-realitas independen melainkan tanda-tanda Allah SWT. Fenomena alam adalah ayat-ayat yang bersifat qauniyyah, sedangkan kitab suci ayat-ayat yang besifat qauliyah. Oleh karena itu ilmu-ilmu agama dan umum menempati posisi yang mulia sebagai obyek ilmu.[3]

2)      Ilmu (Science)
                               I.            Definisi Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa arab: Alima, ya’lamu, ilman dengan was an fa’layaf’alu, yang berarti: mengerti, memahami, benar-benar. asmu’I telah memahami pelajaran “filsafat” [4]. dan dalam bahasa inggeris disebut science; dari bahasa latin scientia (pengetahuan)-scire (mengetahui). sinonim yang paling dekat dengan bahasa yunani adalah episteme[5]. Jadi pengertian ilmu terdapat dalam kamus bahasa Indonesia adalah pengertian tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuna) itu[6]. Mulyadi Kartanegara mengakatan bahwa ilmu adalah any organized knowledge. Ilmu dan sains menurutnya tidak berbeda terutama sebelum abad ke-19, tetapi setelah itu sanis lebih terbatas pada bidang-bidang fisika atau inderawi sedangkan ilmu melampaui pada bidang-bidang nonfisik, seperti metafisika[7].
Adapun beberapa definisi ilmu menurut para ahli, di antaranya adalah:
Ø Muhammad hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuna yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan  masalah yang sama tabiatny, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya di dalam
Ø Harsojo, guru besar antropologi di universitas padjajaran, menerangkan bahwa ilmu adalah:
1.      Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan
2.      Suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada perinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia.
3.      Suatu cara menganalisa yang menizinkan ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk : jika …..maka….. 
Ø Prof. Hamsa Bakhtiar berpendapat  ilmu  sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu sistematik rasional,empiris, universal, objektif, dapat diukur, terbuka, dan kumulatif.

                            II.            Ciri-Ciri Ilmu
Adapun beberapa ciri-ciri utama ilmu menurut terminology antara lain adalah:
1.    Ilmu adalah pengetahun yang bersifat koheren, empiris, sistematik, dan dapat di ukur, dan dibuktikan. berbeda dengan iman yaitu pengetahuan yang didasarkan atas keyakinan kepada yang gaib dan penghayataan serta pengalaman pribadi.
2.    Berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak perna mengartikan kepingan pengetahuan satu putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengaju ke objek (atau alam objek) yang sama dan salin berkaitan secara logis. karena itu koherensi sistematik adalah hakikat ilmu.
3.    Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran perorangan, sebab ilmu dapat memuat di dalamnya dirinya sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya dimantapkan.
4.    Di pihak lain, yangsering kali berkaitan dengan konsep (ilmu pengetahuan ilmiah) adalah ide bahwa metode-metode yang berhasil dan hasil-hasil yang terbukti pada dasarnya harus terbuka kepada semua pencari ilmu.
5.    Ciri hakikat lainnya dari ilmu ialah metodologi, sebab kaitan logis yang dicari ilmu tidak dicapai dengan penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dari banyak pengamatan dan ide yang terpisah-pisah.
6.    Kesatuan setiap ilmu bersumber di dalam kesatuan objeknya.

3)      Filsafat Ilmu
                               I.            Definisi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Menurut The Liang Gie (1999) filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal balik dan saling pengaruh antara filsafat dan ilmu.

                            II.            Obyek Filsafat Ilmu
Obyek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan karena itu, setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Oleh karena itu diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakikat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar mau-tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat.
Dengan filsafat ilmu kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in concreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuan dapat terhindar dari kecongkaan serta kerabunan intelektualnya.


                         III.            Landasan Pendekatan Filsafat Ilmu
Filsafat Ilmu memiliki tiga landasan pendekatan yaitu sebagai berikut:
1. Ontologi/ Metafisis
Pendekatan metafisis membicarakan hakikat apa yang dikaji ilmu pengetahuan. Berusaha menjawab, apakah obyek yang ditelaah adalah ilmu? Bagaimana wujud yang hakikat dari obyek tersebut dan juga bagaimana hubungan subyek (manusia) dengan  obyek ilmu?.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu, membahas tentang yang ada universial, menampilkan pemikiran semesta universial, berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan. Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas.
Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, kajiannya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme.
Lauorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu obyek; sedangkan abstraksi bentuk mendiskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetengahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus dibedakan menjadi dua yaitu pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Dengan demikian Ontologi Ilmu (dimensi ontologi ilmu) adalah Ilmu yang mengkaji wujud (being) dalam perspektif ilmu – ontologi ilmu dapat dimaknai sebagai teori tentang wujud dalam perspektif objek materil ke-ilmuan, konsep-konsep penting yang diasumsikan oleh ilmu ditelaah secara kritis dalam ontologi ilmu. Ontologi adalah hakikat yang “Ada(being,sein)yang merup akan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan kebenaran.




2. Epistemology
Epistemology berasal dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan, merupakan gabungan dua kata Episteme: pengetahuan; dan logos, theory. Epistemologi merupakan cabang ilmu filsafat yang menengarai masalah-masalah filosofi hal yang mengitari teori ilmu pengetahuan. Sebagai bagian dari filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Jadi epistemologi menentukan karakter pengetahuan bahkan menentukan “kebenaran” macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak.
Apabila kumpulan pengetahuan yang benar/episteme/diklasifikasi, disusun sistematis dengan metode yang benar dapat menjadi epistemologi. Aspek epistemologi adalah kebenaran fakta/kenyataan dari sudut pandang mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang dapat diverifikasi atau dibuktikan kembali kebenarannya. Dengan memperhatikan definisi epistemologi bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan. Epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar, dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia.

3. Aksiologi
Aksiologi adalah ilmu yang mengkaji tentang nilai-nilai. Disebut teori tentang nilai sebagai filsafat yang membahas apa kegunaan ilmu pengetahuan manusia. Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral (Jujun S. Suriasumantri, 1985:71).






                         IV.            Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu
            Filsafat ilmu sebagai bagian integral dari filsafat secara keseluruhan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat itu sendiri secara keseluruhan. Menurut Lincoln Cuba, sebagai yang dikutip oleh Ali Abdul Azim, bahwa kita mengenal tiga babakan perkembangan paradigma dalam filsafat ilmu di Barat yaitu era prapositivisme, era positivisme dan era pasca modernisme. Era prapositivisme adalah era paling panjang dalam sejarah filsafat ilmu yang mencapai rentang waktu lebih dari dua ribu tahun. 
            Dalam uraian ini, penulis cenderung mengklasifikasi perkembangan filsafat ilmu berdasarkan ciri khas yang mewarnai pada tiap fase perkembangan. Dari sejarah panjang filsafat, khususnya filsafat ilmu, penulis membagi tahapan perkembangannya ke dalam empat fase sebagai berikut:  Filsafat Ilmu zaman kuno, yang dimulai sejak munculnya filsafat sampai dengan munculnya Renaisance
1.      Filsafat Ilmu sejak munculnya Rennaisance sampai memasuki era positivism
2.      Filsafat Ilmu zaman Modern, sejak era Positivisme sampai akhir abad kesembilan belas
3.      Filsafat Ilmu era kontemporer yang merupakan perkembangan mutakhir Filsafat Ilmu sejak awal abad keduapuluh sampai sekarang. Perkembangan Filsafat ilmu pada keempat fase tersebut akan penulis uraikan dengan mengedepankan aspek-aspek yang mewarnai perkembangan filsafat ilmu di masanya sekaligus yang menjadi babak baru dan ciri khas fase tersebut yang membedakannya dari fase-fase sebelum dan atau sesudahnya. Di samping itu penulis juga akan mengungkap tentang peran filosof muslim dalam perkembangan filsafat ilmu ini, walaupun bukan dalam suatu fase tersendiri.





a. Filsafat Ilmu Zaman Kuno
            Filsafat yang dipandang sebagai induk ilmu pengetahuan telah dikenal manusia pada masa Yunani Kuno. Di Miletos suatu tempat perantauan Yunani yang menjadi tempat asal mula munculnya filsafat, ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir (baca: filosof) besar seperti Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Pemikiran filsafat yang memiliki ciri-ciri dan metode tersendiri ini berkembang terus pada masa selanjutnya. 
            Pada zaman Yunani Kuno filsafat dan ilmu merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan. Keduanya termasuk dalam pengertian episteme yang sepadan dengan kata philosophia. Pemikiran tentang episteme ini oleh Aristoteles diartikan sebagai an organized body of rational konwledge with its proper object. Jadi filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan yang rasional. Dalam pemikiran Aritoteles selanjutnya pengetahuan rasional itu dapat dibedakan menjadi tiga bagian yang disebutnya dengan praktike (pengetahuan praktis), poietike (pengetahuan produktif), dan theoretike (pengetahuan teoritis). 
            Pemikiran dan pandangan Aritoteles seperti tersebut di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa nampaknya ilmu pengetahuan pada masa itu harus didasarkan pada pengertian dan akibatnya hanya dapat dilaksanakan bagi aspek-aspek realitas yang terjangkau pikiran. Lalu masuk akal saja kalau orang berpendapat bahwa kegiatan ilmiah tidak lain daripada menyusun dan mengaitkan pengertian-pengertian itu secara logis, yang akhirnya menimbulkan kesana bahwa setiap ilmu pengetahuan mengikuti metode yang hampir sama yaitu mencari pengertian tentang prima principia, lalu mengadakan deduksi-deduksi logis.  Pemikirannya hal tersebut oleh generasi-generasi selanjutnya memandang bahwa Aristoteleslah sebagai peletak dasar filsafat ilmu.   Selama ribuan tahun sampai dengan akhir abad pertengahan filsafat logika Aristoteles diterima di Eropa sebagai otoritas yang besar. Para pemikir waktu itu mengaggap bahwa pemikiran deduktif (logika formal atau sillogistik) dan wahyu sebagai sumber pengetahuan. 
            Aristoteles adalah peletak dasar ‘doktrin sillogisme’ yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemimiran di Eropa sampai dengan munculnya Era Renaisance. Sillogisme adalah argumentasi dan cara penalaran yang terdiri dari tiga buah pernya-taan, yaitu sebagai premis mayor, premis minor dan konklusi. 


b. Filsafat Ilmu Era Renaisance
            Memasuki masa Rennaisance, otoritas Aritoteles tersisihkan oleh metode dan pandangan baru terhadap alam yang biasa disebut Copernican Revolution yang dipelopori oleh sekelompok sanitis antara lain Copernicus (1473-1543), Galileo Galilei (1564-1542) dan Issac Newton (1642-1727) yang mengadakan pengamatan ilmiah serta metode-metode eksperimen atas dasar yang kukuh. 
            Selanjutnya pada Abad XVII, pembicaraan tentang filsafat ilmu, yang ditandi dengan munculnya Roger Bacon (1561-1626). Bacon lahir di ambang masuknya zaman modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.  Bacon menanggapi Aristoteles bahwa ilmu sempurna tidak boleh mencari untung namun harus bersifat kontemplatif. Menurutnya Ilmu harus mencari untung artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi, dan bahwa dalam rangka itulah ilmu-ilmu berkembang dan menjadi nyata dalam kehidupan manusia. Pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan mansia; human knowledge adalah human power. 
            Perkembangan ilmu pengetahuan modern yang berdasar pada metode eksperimental dana matematis memasuki abad XVI mengakibatkan pandangan Aritotelian yang menguasai seluruh abad pertengahan akhirnya ditinggalkan secara defenitif. Roger Bacon adalah peletak dasar filosofis untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Bacon mengarang Novum Organon dengan maksud menggantikan teori Aristoteles tentang ilmu pengetahuan dengan teori baru. Karyanya tersebut sangat mempengaruhi filsafat di Inggris pada masa sesudahnya. Novum Organon atau New Instrumen berisi suatu pengukuihan penerimaan teori empiris tentang penyelidikan dan tidak perlu bertumpu sepenuhnya kepada logika deduktifnya Aritoteles sebab dia pandang absurd.
            Kehadiran Bacon memberi corak baru bagi perkembangan Filsafat Ilmu, khususnya tentang metode ilmiah. Hal ini sebagai yang dikemukakan oleh A. B. Shah dalam Scientific Method, bahwa: “Pengertian yang paling baik tentang metode ilmiah dapat dilukiskan yang paling baik menurut induksi Bacon”. 
            Hart mengaggap Bacon sebagai filosof pertama yang bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat dapat mengubah dunia dan dengan sangat efektif menganjurkan penyelidikan ilmiah. Beliaulah peletak dasar-dasar metode induksi modern dan menjadi pelopor usaha untuk mensistimatisir secara logis prosedur ilmiah. Seluruh asas filsafatnya bersifat praktis yaitu menjadikan untuk manusia menguasai kekuasaan alam melalui penemauan ilmiah Menurut Bacon, jiwa manusia yang berakal mempunyai kemamapuan triganda, yaitu ingatan (memoria), daya khayal (imaginatio) dan akal (ratio). Ketiga aspek tersebut merupakan dasar segala pengetahuan. Ingatan menyangkut apa yang sudah diperiksa dan diselidiki (historia), daya khayal menyangkut keindahan dan akal menyangkut filsafat (philosophia) sebagai hasil kerja akal. 

d. Filsafat Ilmu Era Positivisme
            Memasuki abad XIX perkembangan Filsafat Ilmu memasuki Era Positivisme. Positivisme adalah aliran filsafat yang ditandai dengan evaluasi yang sangat terhadap ilmu dan metode ilmiah. Aliran filsafat ini berawal pada abad XIX. Pada abad XX tokoh-tokoh positivisme membentuk kelompok yang terkenal dengan Lingkaran Wina, di antaranya Gustav Bergman, Rudolf Carnap, Philip Frank Hans Hahn, Otto Neurath dan Moritz Schlick. 
            Pada penghujung abad XIX (sejak tahun 1895), pada Universitas Wina Austria telah diajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan Induktif. Hal ini memberikan indikasi bahwa perkembangan filsafat ilmu telah memasuki babak yang cukup menentukan dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dalam abad selanjutnya. Memasuki abad XX perkembangan filsafat ilmu memasuki era baru.
                        Sejak tahun 1920 panggung filsafat ilmu pengetahuan didominasi oleh aliran positivisme Logis atau yang disebut Neopositivisme dan Empirisme Logis. Aliran ini muncul dan dikembangkan oleh Lingkaran Wina (Winna Circle, Inggris, Wiener Kreis, Jerman). Aliran ini merupakan bentuk ekstrim dari Empirisme. Aliran ini dalam sejarah pemikiran dikenal dengan Positivisme Logic yang memiliki pengaruh mendasar bagi perkem-bangan ilmu. Munculnya aliran ini akibat pengaruh dari tiga arah. Pertama, Emperisme dan Positivisme. Kedua, metodologi ilmu empiris yang dikembangkan oleh ilmuwan sejak abad XIX, dan Ketiga, perkembangan logika simbolik dan analisa logis. 
            Secara umum aliran ini berpendapat bahwa hanya ada satu sumber pengetahuan yaitu pengalaman indrawi. Selain itu mereka juga mengakui adanya dalil-dalil logika dan matematika yang dihasilkan lewat pengalaman yang memuat serentetan tutologi -subjek dan predikat yang berguna untuk mengolah data pengalaman indrawi menjadi keseluruhan yang meliputi segala data itu. 
            Lingkaran Wina sangat memperhatikan dua masalah, yaitu analisa pengetahuan dan pendasaran teoritis matematika, ilmu pengetahuan alam, sosiologi dan psikologi. Menurut mereka wilayah filsafat sama dengan wilayah ilmu pengetahuan lainnya. Tugas filsafat ialah menjalankan analisa logis terhadap pengetahuan ilmiah. Filsafat tidak diharapkan untuk memecahkan masalah, tetapi untuk menganalisa masalah dan menjelaskannya. Jadi mereka menekankan analisa logis terhadap bahasa. Trend analisa terhadap bahasa oleh Harry Hamersma dianggap mewarnai perkembangan filsafat pada abad XX, di mana filsafat cenderung bersifat Logosentrisme 

e. Filsafat Ilmu Kontemporer
            Perkembangan Filsafat Ilmu di zaman ditandai dengan munculnya filosof-filosof yang memberikan warna baru terhadap perkembangan Filsafat Ilmu sampai sekarang.
Muncul Karl Raymund Popper (1902-1959) yang kehadirannya menadai babak baru sekaligus merupakan masa transisi menuju suatu zaman yang kemudian di sebut zaman Filsafat Ilmu Pengetahuan Baru. Hal ini disebabkan Pertama, melalui teori falsifikasi-nya, Popper menjadi orang pertama yang mendobrak dan meruntuhkan dominasi aliran positivisme logis dari Lingkaran Wina. Kedua, melalui pendapatnya tentang berguru pada sejarah ilmu-ilmu, Popper mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu yang baru yang dirintis oleh Thomas Samuel Kuhn. 
            Para tokoh filsafat ilmu baru, antara lain Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Palter dan Stephen Toulmin dan Imre Lakatos memiliki perhatian yang sama untuk mendobrak perhatian besar terhadap sejarah ilmu serta peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi. Gejala ini disebut juga sebagai pemberontakan terhadap Positivisme. 
            Thomas S. Kuhn populer dengan relatifisme-nya yang nampak dari gagasan-gagasannya yang banyak direkam dalam paradigma filsafatnya yang terkenal dengan The Structure of Scientific Revolutions (Struktur Revolusi Ilmu Pengetahuan). 
            Kuhn melihat bahwa relativitas tidak hanya terjadi pada Benda yang benda seperti yang ditemukan Einstein, tetapi juga terhadap historitas filsafat Ilmu sehingga ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa teori ilmu pengetahuan itu terus secara tak terhingga mengalami revolusi. Ilmu tidak berkembang secara komulatif dan evolusioner melainkan secara revolusioner.  Salah seorang pendukung aliran filsafat ilmu Baru ialah Paul Feyerabend (Lahir di Wina, Austria, 1924) sering dinilai sebagai filosof yang paling kontroversial, paling berani dan paling ekstrim. Penilaian ini didasarkan pada pemikiran keilmuannya yang sangat menantang dan provokatif. Berbagai kritik dilontarkan kepadanya yang mengundang banyak diskusi dan perdebatan pada era 1970-an. 

B.       Ilmu Hukum
1)      Hukum
            Hukum oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) didefinisikan sebagai berikut:
peraturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas;
a.       Undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur kehidupan masyarakat;
b.      Patokan (kaidah, ketentuan); dan
c.       Keputusan (pertimbangan) yang ditentukan oleh hakim dalam pengadilan, vonis.

2)        Unsur-Unsur Hukum
            Dari beberapa perumusan tentang hukum yang diberikan para yuris hukum meliputi beberapa unsur yaitu :
Ø  Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat
Ø  Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib
Ø  Peraturan itu bersifat memaksa
Ø  Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas

3)      Ciri dan isi kaidah Hukum
Adapun Ciri-Ciri Hukum adalah
Ø  Adanya perintah dan/atau larangan
Ø  Perintah dan larangan itu harus patuh ditaaati setiap orang
            Hukum meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan mengatur hubungan antar sesama (peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan) yang dinamakan Kaidah Hukum.

Ditinjau dari segi isinya kaidah hukum dapat dibagi menjadi tiga :
1. Berisi tentang perintah,
            Artinya kaidah hukum tersebut mau tidak mau harus dijalankan atau ditaati, misalnya ketentuan syarat sahnya suatu perkawinan, ketentuan wajib pajak dsb.
2. Berisi larangan,
            Yaitu ketentuan yang menghendaki suatu perbuatan tidak boleh dilakukan misalnya dilarang mengambil barang milik orang lain, dilarang bersetubuh dengan wanita yang belum dinikahi secara sah dsb.
3. Berisi perkenan,
            Yaitu ketentuan yang tidak mengandung perintah dan larangan melainkan suatu pilihan boleh digunakan atau tidak, namun bila digunakan akan mengikat bagi yang menggunakannya. Misalnya mengenai perjanjian perkawinan, pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Ketentuan ini boleh dilakukan boleh juga tidak dilaksanakan.

4)      Sistem Hukum
            Ada berbagai jenis sistem hukum yang berbeda yang dianut oleh negara-negara di dunia pada saat ini, antara lain sistem hukum Eropa Kontinental, sistem hukum Anglo-Saxon, sistem hukum adat, sistem hukum agama.
a.       Sistem Hukum Eropa Kontinental
            Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.


b.      Sistem Hukum Anglo-Saxon
            Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon).
            Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.
c.       Sistem Hukum Adat/Kebiasaan
            Hukum adalah adalah seperangkat norma dan aturan adat/kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah.
d.      Sistem Hukum Agama
            Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu. Sistem hukum agama biasanya terdapat dalam Kitab Suci.
5)      Hukum Indonesia
            Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum campuran dengan sistem hukum utama yaitu sistem hukum Eropa Kontinental. Selain sistem hukum Eropa Kontinental, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat dan sistem hukum agama, khususnya hukum (syariah) Islam. Uraian lebih lanjut ada pada bagian Hukum Indonesia.


6)        FUNGSI HUKUM

a.       Hukum berfungsi sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Hukum sbg petunjuk bertingkah laku untuk itu masyarakat harus menyadari adanya perintah dan larangan dalam hukum sehingga fungsi hukum sebagai alat ketertiban masyarakat dapat direalisir.
b.      Hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin. Hukum yg bersifat mengikat, memaksa dan dipaksakan oleh alat negara yang berwenang membuat orang takut untuk melakukan pelanggaran karena ada ancaman hukumanya (penjara, dll) dan dapat diterapkan kepada siapa saja. Dengan demikian keadilan akan tercapai.
c.       Hukum berfungsi sebagai alat penggerak pembangunan karena ia mempunyai daya mengikat dan memaksa dapat dimamfaatkan sebagai alat otoritas untuk mengarahkan masyarakat ke arah yg maju.
d.      Hukum berfungsi sebagai alat kritik. Fungsi ini berarti bahwa hukum tidak hanya mengawasi masyarakat semata-mata tetapi berperan juga untuk mengawasi pejabat pemerintah, para penegak hukum, maupun aparatur pengawasan sendiri. Dengan demikian semuanya harus bertingkah laku menurut ketentuan yg berlaku dan masyarakt pun akan merasakan keadilan.
e.       Hukum berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan pertingkaian. Contoh kasus tanah.






BAB III
PEMBAHASAN
A.      Hakekat Keilmuan Ilmu Hukum Menurut Filsafat Ilmu
            Ilmu Hukum dalam perkembangannya selalu diperdebatkan keabsahannya sebagai ilmu, baik oleh ilmuwan sosial maupun ilmuwan hukum sendiri. Sudah sejak lama sebuah pertanyaan timbul dan harus dijawab secara akademis, apakah ilmu hukam itu ilmu. Dari segi kajian, penelitian ilmu hukum pada dasarnya bukanlah untuk melakukan verifikasi atau menguji hipotesis sebagaimana penelitian ilmu sosial maupun penelitian ilmu alamiah. Dalam penelitian hukum tidak dikenal istilah data. Perbedaan metode kajian terhadap ilmu hukum pada dasarnya, beranjak dari sifat dan karakter ilmu hukum itu sendiri. Pandangan epistemologi bisa merujuk pendapat Philipus M. Hadjon, yang mengemukakan bahwa
“Ilmu hukum memiliki karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif, praktis, dan preskriptif. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, rambu-rambu dalam menetapkan aturan.”
            Ilmu hukum dibagi menjadi tiga lapisan yaitu dogmatik hukum, teori hukum dan filafat hukum. Ilmu hukum dalam kenyataannya juga mempunyai dua aspek yaitu aspek praktis dan teoretis. Ilmu hukum dalam aspek praktis digunakan untuk memecahkan masalah hukum.
            Dalam tataran teoretis ilmu hukum digunakan untuk pengembangan ilmu melalui penelitian normatif dengan pendekatan undang-undang, pendekatan kasus, pendekatan komparatif dan pendekatan konseptual[8] Pandangan dari aspek ontologi ilmu hukum obyek kajiannya adalah hukum. Mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Sedangkan arti hukum sebagai obyek kajian ilmu hukum ada beberapa pengertian misalnya Van Kan menyatakan bahwa hukum adalah ketentuan hidup yang bersifat memaksa yang melindungi kepentingan orang dalam masyarakat. Rudolf von Jehring menyatakan hukum adalah keseluruhan peraturan atau ketentuan yang bersifat memaksa yang berlaku dalam suatu negara. E.Utrecht menyatakan hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengandung perintah dan larangan yang mengatur tingkah laku atau ketertiban dalam masyarakat dan bagi yang melanggar akan dikenai tindakan penguasa.
            Perkembangan ilmu hukum dari sudut pandang filsafat ilmu dapat diketahui melalui 3 (tiga) pendekatan keilmuan filsafat ilmu yaitu sebagai berikut :
Dari aspek aksiologi dapat diuraikan tentang kegunaan dari ilmu hukum yaitu sebagai berikut:
a.       Mempersiapkan putusan hukum pada tataran mikro maupun makro;
b.      Menunjukkan apa hukumnya tentang hal tertentu;
c.       Mengeliminasi kontradiksi yang tampak dalam tata hukum; kritik dan menyarankan amandemen terhadap peraturan dan undang-undang yang ada serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru; analsis kritis terhadap putusan hakim untuk pembinaan yurisprudensi
Sementara itu tujuan ilmu hukum adalah antara lain :
a.       Memaparkan secara sistematis material hukum (produk perundang-undangan, yurisprudensi, hukum tidak tertulis, dan doktrin);
b.      Menunjukkan apa hukumnya tentang hal tertentu dengan mengacu aturan hukumyang relevan;
c.       Memberikan penjelasan historis tentang situasi tatanan hukum yang berlaku;
d.      Memberikan kritik terhadap tatanan hukum, aturan hukum positif atau putusan hukum berdasarkan doktrin, kebijakan dan politik hukum yang sudah disepakati dengan mengacu cita hukum, cita negara dan tujuan negara;
e.       Merekomendasikan interpretasi terhadap aturan hukum, jika aturan hukum itu kabur atau tidak memberikan kepastian; Mengusulkan amandemen terhadap peraturan perundang-undangan yang ada atau pembentukan undang-undang baru[9]



B.       Perkembangan Ilmu Hukum Menurut  Filsafat Ilmu
            Perkembangan filsafat ilmu dalam pusaran ilmu era globalisasi juga mempengaruhi perkembangan ilmu hukum di Indonesia. Hukum menjadi patron terdepan dalam mengatur kehidupan manusia dalam inter waktu yang berbeda-beda. Oleh karena perkembangan pengetahuan yang semakin cepat maka transormasi hukum di dunia juga mengalami evolusi, Berdasarkan hal ini filsafat ilmu memandang ilmu hukum terbagi menjadi 2 yaitu ilmu hukum yang praktis (practical science) dan yang teoritis (teoritical science) inilah yang disebut hakikat keilmuan dari ilmu hukum-- walaupun tanpa bermaksud untuk menyederhanakan masalah, maka  sesungguhnya dapat dicari jawabnya dari sudut pemilahan ini. Hukum adalah tatanan normatif, dan oleh karena itu ilmu yang mempelajari hukum juga harus berkarakter normatif. Pernyataan demikian tidaklah keliru, namun harus segera ditambahkan bahwa pandangan demikian itu tidaklah menangkap esensi dari hukum secara utuh, yang dengan demikian ada kekurangan dalam memahami ilmu hukum secara utuh pula. Pengingkaran terhadap keberadaan sub-sub sistem lain dalam hukum, dan hanya berfokus pada sistem peraturan sembari melupakan adanya subsistem kelembagaan (legal structure) dan subsistem budaya (legal culture) menjadikan ilmu hukum menjadi berat sebelah. Dalam khasanah ilmu hukum dapat dijumpai, mereka yang berada dalam kubu ilmu hukum normatif telah melahirkan ajaran-ajaran: Ideenjurisprudenz, Algemeine Rechtsleer; Begriffsjurisprudenz; Analitical Jurisprudence, selain juga Rechtsdogmatiek. Sementara itu dari kubu yang non-normatif dijumpai ajaran ajaran Interessenjurisprudenz, hukum sebagai kaidah (nilai-nilai) bukannya sekedar aturan formal.
            Akhirnya keabsahan sosialitas juga menuntut Freirechtslehre, Socilogical  Jurisprudence ilmu hukum  untuk memberi penjelasan dan Critical Legal Studies. Ilmu hukum normatif yang berbasis peraturan (rechtsdogmatiek), dapatlah disebut sebagai   ilmu   hukum   praktis.   Bidang penggarapannya hanyalah sebatas pada teks-teks normatif yang disebut hukum positif. Dengan cara kerja yang serba deduktif, ilmu hukum ini berusaha mencari kaitan logis antara peraturan dengan fakta yang terjadi. Kesibukan hanya berputar pada pencarian dan pengkaitan antara asas, doktrin, norma dan fakta hukum. Ilmu hukum yang berkualitas demikian inilah yang saat ini mendominasi penguasaan ilmu hukum di Indonesia.
            Pada pendidikan ilmu hukum, kendatipun diberikan pada level perguruan tinggi (Strata 1), namun karena  dalih untuk menciptakan tenaga emberional di bidang hukum (hakim, jaksa, pengacara,  polisi,dsb),     maka  kualitas keilmuan yang diberikan hanyalah sebatas ilmu hukum praktis yang menekankan pada pembelajaran dan pemberian keterampilan (skill) tanpa menukik ke dalam asal muasal, landasan filosofis, landasan teleologis serta relevansi sosial dimana norma hukum itu berada. Sisi lain dari ilmu hukum juga menampakkan dirinya sebagai ilmu hukum teoritis.
            Berbeda dengan ilmu hukum yang praktis sebagaimana dijelaskan di muka, ilmu hukum teoritis tidak sekedar memaknai dirinya sebagai ilmu tentang peraturan positif. Dalam perspektif ilmu hukum teoritis aspek peraturan hanyalah dipakai sebagai sandaran untuk kemudian dicari penjelasannya, baik yang berkait    dengan    keabsahan    idealitas, normativitas maupun sosialitas berlakunya. Seberapa jauh norma-norma hukum tersebut dikukuhi oleh masyarakat dan ember dayaguna bagi kemaslahatan masyarakat yang bersangkutan. Uraian perihal nilai-nilai dasar dan dasar keabsahan dari hukum ini  telah dikupas oleh Gustav Radbruch, sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo dalam bukunya Ilmu Hukum[10]
            “Dengan    menyadari    karakteristik keilmuan dari ilmu hukum di atas, baik yang praktis maupun yang teoritis, maka pencarian kebenaran sebagaimana menjadi tujuan bagi segenap ilmu pengetahuan, bagi ilmu hukum praktis  kebenaran  itu  sudah  tercukupi manakala terdapat hubungan yang logis, rasional dan sistematis antara peraturan di satu pihak dengan fakta atau kenyataan hukum di pihak yang lain.”
            Sementara itu bagi ilmu hukum teoritis, tujuan yang hendak dicapai adalah kebenaran yang lebih  utuh,  yaitu, meminjam istilah yang dipakai oleh Satjipto Rahardjo adalah kebenaran ilmu hukum sebagai sebenar ilmu (genuine  science)
            Dalam pengertiannya yang terakhir ini, yakni ilmu hukum sebagai sebenar ilmu, maka ilmu hukum ingin menjelaskan segala seluk- beluk yang berkaitan dengan hukum, segala hal untuk bisa menjelaskan kenyataan yang penuh tentang hukum, yakni menjelaskan, memahami, mencari asal-usul, mencari makna di  belakang  kenyataan  dan  sebagainya. Menjelaskan hukum secara penuh berarti pula menerima apa saja yang terjadi pada dan berhubungan dengan hukum, tidak saja ketika hukum itu tampil dalam wujud keteraturan (ordered), tetapi juga ketika hukum itu adalah Berkaitan dengan keabsahan idealitas, ilmu hukum   teoritik   berusaha   menjelaskan keterkaitan antara norma hukum dengan sesuatu yang disordered.






















BAB IV
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan Bab pembahasan diatas kami menyimpulkan bahwa
1.      Hakekat keilmuan ilmu hukum jika dipandang dari filsafat ilmu dapat diketahui melalui 3 (tiga) pendekatan yang ada yaitu Ontologi,Epistemologi, dan Aksiologi. Ontologi dalam ilmu hukum adalah  hukum sedangkan epistemologi yaitu untuk memahami hukum bisa dalam tataran teoretis ilmu hukum  pengembangan ilmu melalui penelitian normatif dengan pendekatan undang-undang, pendekatan kasus, pendekatan komparatif dan pendekatan konseptual. Sedangkan aksiologi ilmu hukum adalah  dapat dilihat kegunaan dari ilmu hukum yaitu sebagai berikut: a. Mempersiapkan putusan hukum pada tataran mikro maupun makro; b. Menunjukkan apa hukumnya tentang hal tertentu; c. Mengeliminasi kontradiksi yang tampak dalam tata hukum; kritik dan menyarankan amandemen terhadap peraturan dan undang-undang yang ada serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru; analsis kritis terhadap putusan hakim untuk pembinaan yurisprudensi.
2.      Perkembangan Ilmu Hukum dalam pandangan filsafat ilmu dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) yaitu ilmu hukum yang praktis (practical science) dan yang teoritis (teoritical science) inilah yang disebut hakikat keilmuan dari ilmu hukum.





B.       Saran
            Perkembangan filsafat ilmu sangat memberikan pengaruh besar terhadap efektivitas dari keberadaan ilmu hukum di dunia khususnya namun tak jarang hal ini belum diketahui oleh mahasiswa hukum. Banyak faktor penyebabnya salah satunya pragmatism dan masifnya para penggiat hukum menyebabkan kakunya perkembangan hukum khususnya di Indonesia. Olehnya itu kami mengharapkan para civitas akademika yang fokus pada bidang hukum untuk memahami dan mempelajari filsafat ilmu sebagai sub materi dari perkembangan ilmu hukum. Hal ini diperlukan untuk memberikan pemahaman komprehensif pada mereka-mereka dan juga tidak terjadi the wrong mind set (salah tafsir) terhadap ilmu hukum.














DAFTAR PUSTAKA
Ahmad warson munawwir al-munawwir. 1984. Kamus Arab-Indonesia. Pondok Pesanteren Al-Munawwir Krapyak. Yokyakarta.
Bakhtiar Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta  : PT Raja Grafindo Persada
Bernard Arief Sidharta. 2000. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung.  CV. Mandar Maju.
Jujun S Suriasumantri. 1998. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular. Jakarta :  Pustaka Sinar Harapan.
Kartanegara Mulyahdhi. 2003.Pengantar Epistimologi Islam . Bandung : Mizan
Mulyadhi Kartanegara. 2003. Pengantar Epistemology Islam . Bandung. Mizan.
Peter Mahmud. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta. Kencana Prenada media Group.
Rahardjo, Satjipto, 2004, Ilmu Hukum : Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Muhamadiyah University Press.
Rapar HendrikJan  . 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta : Pustaka Filsafat.
Wihadi admojo. 1998. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.






[1] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Kanisius Yogyakarta, 1996, hlm. 412.
[2] Kartanegara,Mulyahdhi.2003.Pengantar Epistimologi Islam . Mizan. Bandung
[3] Amsal Bakhtiar.2012. Filsafat Ilmu. Rajagrafindo Persada. Jakarta

[4] Ahmad warson munawwir, al-munawwir. 1984. kamus arab-indonesia. pondok pesanteren al-munawwir krapyak. Yokyakarta.
[5] Jujun S Suriasumantri. 1998. filsafat ilmu sebuah pengantar popular. pustaka sinar harapan. Jakarta
[6] Wihadi admojo.1998. kamus bahasa Indonesia.balai pustaka. Jakarta
[7] Mulyadhi Kartanegara.2003. Pengantar Epistemology Islam .Mizan. Bandung
[8] Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Media Group hlm. 15
[9] Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung : CV Mandar Maju, hlm. 106
[10] Rahardjo, Satjipto, Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Muhamadiyah University Press, hlm. 11

1 opmerkings: